[38] Perasaan yang Terbalaskan

660 42 5
                                    

Kini jasad Arvan sudah dikebumikan tepat di antara kedua Kakaknya. Namun aku masih enggan untuk pergi meninggalkan makam Arvan.

"Kalian duluan aja, Tania bisa pulang pakai taksi." Ucapku tanpa mengalihkan pandangan dari nisan Arvan.

Mau tak mau, semuanya menuruti perkataanku yang keras kepala ini.

"Van, kamu kenapa pergi sih?" tanyaku pada gundukan tanah yang di dalamnya terdapat Arvan.

Arvan memang tak menjawabnya, namun sepertinya langit yang menjawab pertanyaanku dan langit juga yang menunjukkan perasaanku pada banyak orang.

Iya, langit mendung, sama seperti hatiku saat ini. Mendung, karena matahariku telah pergi.

Rintik-rintik air hujan mulai membasahi bumi, aku masih enggan untuk pergi, barang untuk berteduh pun. Aku masih setia terduduk di samping makam Arvan.

Kini hujan makin menjadi, angin kencang pun ikut serta hadir. Dan aku masih setia menemani Arvan.

Lalu kulihat laki-laki berbaju putih dengan payung hitam di atasnya tengah berdiri di hadapanku.

"Sampai kapan kamu masih ingin tetap di sini?" tanyanya membuatku bingung sekaligus takut sebab wajahnya yang tak berbentuk.

"A-aku, mau di-di sini sampai perasaan yang berkecamuk ini reda." Jawabku takut-takut. Seketika wajahnya berubah.

"Arvan?"

"Ini hujan, Tania. Kenapa kamu malah menyiksa diri kamu seperti ini?" tanyanya membuatku terkejut.

"Kamu masih hidup?" pertanyaan bodoh macam apa ini. Aku tau kalau Arvan sudah pergi, tapi hanya kalimat seperti itu yang ada di benakku setiap melihat Arvan.

"Aku hanya ingin menjagamu, Tania."

Aku menangis, kali ini aku benar-benar bisa menangis sejadi-jadinya.

"Tania, jika kamu ingin aku pergi dengan tenang, tolong kamu lupakan aku, lupakan kesedihan-kesedihan kamu. Aku yakin, kamu pasti bisa bahagia tanpa aku di sisimu." Ucapnya penuh keyakinan.

Aku menggeleng lemah, "Aku gak bisa. Kumohon, jangan pergi, Van."

"Maafkan aku, Tania. Tolong lupakan aku. Dan ingat, aku akan selalu mencintaimu." Ucapnya lalu pergi. Dan seketika hujan lebat itu reda setelah kepergiannya.

"Arvan! Kamu di mana? Arvan! Aku mohon jangan tinggalin aku!" teriakku histeris seperti orang gila.

"Mau sampai kapan kamu kayak gitu?" tanya seseorang dari belakangku. Aku menoleh ke belakang, "Mau apa lo ke sini?" aku balik bertanya.

"Mengunjungi makam Arvan yang memang sudah ada sejak dua tahun yang lalu." Jawab Arbani membuatku sontak terkejut.

"Maksud lo?"

"Arvan sudah meninggal sejak dua tahun yang lalu."

"Lo bohong!"

"Buat apa saya bohong? Percuma juga saya berbohong." Jawabnya santai.

"Lalu, bagaimana mungkin dia bisa hidup dengan keadaan ... ah! Ini sulit dimengerti. Dan kenapa dia tampak nyata?" tanyaku bingung.

Lalu Arbani berjalan mendekat, seraya memberikanku sepucuk surat. "Surat apa ini?" tanyaku. Arbani menahanku ketika aku ingin membuka surat itu.

"Tahan, bukalah di rumah. Biar saya jelaskan di sini." Ucapnya membuatku akhirnya mengiyakan.

"Arvan itu sudah meninggal dua tahun yang lalu, dan surat yang saya berikan ke kamu itu adalah surat yang ia buat untuk terakhir kalinya sebelum ia meninggal.

Kamu pasti tau kalau Arvan sudah menyukaimu sejak lama. Dan sebelum dia dan keluarganya meninggal dia membuat surat lalu menitipkannya pada saya.

Soal dia nyata itu, arwahnya sempat bilang sama saya katanya, dia diberi kesempatan Tuhan untuk menuntaskan perasaannya yang belum terbalaskan. Akhirnya arwahnya bisa kembali nyata.

Dan asal kamu tau, di bawah makam ini, jasad Arvan sudah lebih dulu. Jadi yang kamu lihat itu hanya orang-orang yang menguburkan arwahnya.

Tak usah bersedih, setidaknya dia sudah bahagia karena perasaannya kini sudah terbalaskan."

💦💦💦

Tbc

24 Feb '18

Pura-Pura MOVE ONTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang