[52] Imagination

553 30 0
                                    

Setelah mobil Zidan pergi dari rumahku, aku masuk ke rumah tanpa memedulikan Juan yang masih menatapku kesal.

"Tania!"

Aku berhenti, "apa lagi sih? Bikin kesel apa? Orang Zidan gak ngapa-ngapain Bunda juga." Ucapku kesal, tanpa berbalik menghadapnya.

"Kamu tuh ya, ngertiin perasaan Bunda kamu juga dong. Jangan egois!"

Aku egois? Untuk kali ini aja, kenapa gak boleh? Aku gak bisa terima perjodohan itu!

Tanpa butuh waktu lama lagi, aku berlari masuk ke dalam rumah, melewati Kak Wena dan Kak Toni yang sedang bercengkerama di ruang keluarga.

"Tania!" teriak Juan lagi, ketika aku hampir masuk ke dalam kamarku.

Blam!

Suara pintu yang tertutup dengan keras beradu dengan suara tangisku yang tiba-tiba mengucur dengan deras.

Tok.. Tok.. Tok..

"Tania, dengerin aku dulu." Ucapnya dari balik pintu kamarku, ia terus mengetuk-ketuk pelan.

"J-Juan, pergi!" usirku dengan suara yang setengah sesenggukan.

Aku memejamkan mataku, membiarkan air mataku mengalir dengan sesuka hatinya. Aku ingin melepaskan semuanya, aku tak mau mempunyai beban yang benar-benar membebani hati dan perasaanku seperti saat ini.

"Tania.."

Panggil seseorang yang kurasa dari hadapanku. Tapi tunggu, bukannya aku sendirian di kamarku ini? Suara siapa barusan?

"Tania, ini aku, Arvan."

"Arvan? Arvan di mana kamu?"

"Aku ada di depanmu, Tania." Ucapnya, membuatku meraba-raba angin di depanku.

"Kamu di mana Arvan?"

"Tania, tenang.. Pejamkan matamu, lalu
bukalah perlahan." Perintahnya, aku mengikutinya. Aku memejamkan mataku perlahan, lalu membukanya secara perlahan pula. Dan benar saja, aku bisa melihat Arvan di hadapanku.

Arvan, nyata!

Aku bisa menyentuh pipinya, aku merindukannya!

"Arvan, kamu ke mana aja? Aku butuh kamu, aku rindu kamu!" teriakku, dan langsung memeluknya. Dia membalas pelukanku, dan ini benar-benar terasa nyata.

Iya! Aku memeluknya, ini benar-benar nyata.

"Arvan, kamu nyata, apa kamu hidup kembali?" tanyaku yang masih memeluknya.

Kemudian dia mengendurkan pelukannya sejenak, lalu menangkup kedua pipiku. "Ini aku, dalam imajinasimu."

"I-imajinasi? Maksud kamu apa?" tanyaku setengah heran. Jelas-jelas aku bisa menyentuhnya. Bagaimana bisa dia bilang ini imajinasiku?

"Iya, sekarang ini kamu sedang dalam keadaan pingsan. Maka dari itu, kamu bisa melihat bahkan menyentuh aku." Jelasnya, yang jelas-jelas tak bisa kupercaya.

Aku menggeleng pelan di hadapannya, "kenapa? Kamu tak percaya? Cobalah  sadar kembali, Tania." Ucapnya membuatku menggeleng dengan cepat.

"Aku gak mau! Aku nyaman begini, Van." Dia tersenyum mendengar jawabanku.

Lalu memelukku lagi, "aku merindukanmu, Tania. Benar-benar rindu. Awal aku menjalani hidup baru yang sekarang ini, aku benar-benar terpuruk. Aku masih ingin bersamamu, tapi Tuhan tak mengizinkanku lagi."

Aku mempererat pelukannya, "aku juga merindukanmu. Kembalilah, Van." Pintaku penuh harap.

"Aku juga ingin seperti itu, tapi aku tak bisa. Sekarang, aku akan belajar merelakanmu untuk bersama dengan pemuda pilihan orang tuamu." Ujarnya membuatku terkejut.

"Kamu tau?"

Dia mengangguk, "jangan lupakan aku yang juga ikut mengawasimu dari atas bersama Tuhan. Aku juga tau banyak hal tentang kamu."

"Tapi, aku tak menyukainya." Rengekku.

"Belajarlah. Aku akan belajar merelakanmu, dan kamu belajar menyukainya."

Aku menggeleng cepat. Lalu dia mengusap pelan puncak kepalaku.

"Aku akan belajar merelakanmu. Tetapi aku akan terus menyayangimu," ucapnya lalu memberiku kecupan singkat di dahi.

"Jaga dirimu baik-baik, aku tak punya banyak waktu lagi, aku harus pergi. Sampai jumpa, Tania." Ucapnya lalu menghilang dari pandangan mataku.

"Tania, apa kamu baik-baik saja?" tanya Juan ketika aku membuka mata, dan sekarang aku sudah berbaring di atas kasur.

Ternyata benar, yang barusan itu, hanya imajinasi.

💦💦💦

Tbc..

11 Mar 2018

Pura-Pura MOVE ONTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang