[9] To The Point

1K 54 0
                                    

"Eh! Kamu yang pake tas abu-abu!"

Abu-abu? Tas aku warnanya abu-abu? Perasaan tas aku warna merah. Eh, tapi ada abu-abunya sih. Tapi kan, lebih dominan abu-abu. Masa aku sih?

"Iya kamu, yang dari tadi ngecekin tas. Tas kamu dominan warnanya abu-abu." Ucapnya menatap ke arahku. Hah? Aku? Aku menunjuk diriku dan diangguki laki-laki aneh yang bertubuh lebih tinggi yang berada agak jauh di belakangku.

"Sini kamu!" dia melambaikan tangannya ke arahku agar aku mendekatinya. Tak butuh waktu lama, aku menghampirinya karena tak ingin terus ditatap tajam olehnya.

"Ada apa?" tiba-tiba pandangannya menjadi sayu. "Saya mau minta tolong,"

"Tolong kamu bantu anak-anak PMR di aula." Aku mengerutkan keningku, "bantu apa?"

"Sebentar lagi akan ada persiapan untuk pentas seni khusus anak PMR. Kamu tolong bantu ya. Atau nggak, kamu bantu mengarahkan saja. Kamu pemilik sekolah kan?"

Lah? Dia tau aku calon pemilik sekolah. Dari mana?

"Udah jangan bengong aja. Sana!" teriaknya mengusirku.

◽◽◽

Setelah selesai membantu persiapan panggung aku beristirahat di bangku yang disediakan disekitar aula, seraya mengipas-ngipaskan tanganku.

"Nih!" ucap seseorang seraya menyodorkan sebotol air mineral padaku, kuterima dengan senang hati. Tau aja aku lagi haus.

"Makasih." Dia mengangguk.

"Di sini nggak banyak yang tau ya kalo kamu pemilik sekolah?" aku menggeleng seraya tersenyum mendengar pertanyaannya. "Masih calon, Kak. Sekolah ini masih Kakek yang urus." Ucapku mengoreksi. Dia mengangguk.

"Oh iya, kok Kakak tau saya pemilik sekolah?" tanyaku bingung, dia menatap lembut ke arahku. "Kenapa?"

Dia menggeleng, "Saya tau dari Kakak kamu. Kakak kamu, Wena kan?" kini aku yang mengangguk. Ternyata dia tau dari Kak Wena.

"Maaf, Kak. Saya harus permisi, saya harus pulang. Saya sudah terlambat pulang." Pamitku.

"Tunggu," dia menahan lenganku. "Saya antar. Sekalian saya mau berkunjung menemui Wena." Aku mengangguk mengiyakan tawarannya.

◽◽◽

"Tania pulang!" teriakku ketika membuka pintu rumah.

"Udah pulang?" tanya Kak Wena dari lantai atas, lantai tiga tepatnya. "Iya."

Kak Wena turun menghampiriku, "Eh, ada Steven. Tumben ke sini." Ucapnya seraya bersalaman dengan Kak Wena.

"Iya, tadi gue sekalian antar adik lo." Kak Wena mangut-mangut.

"Duduk dulu Kak." Ucapku berusaha sopan dengan mempersilakan teman Kak Wena, Kak Steven duduk.

Aku berlalu pergi ke dapur, meninggalkan mereka berdua—Kak Wena dan Kak Steven—di ruang tamu.

"Bi, tolong buatkan minum untuk tamu Kak Wena ya. Satu orang. Tania mau ganti baju dulu." Ucapku pada Bi Jihan, asisten rumah tangga di rumahku.

Bi Jihan mengangguk, "siap non. Non Tania, bibi udah masak ikan gurame pedas manis kesukaan Non Tania." Ucapnya membuatku kegirangan, aku mengangguk lalu berlari ke kamarku dengan cepat.

Kamarku berada di lantai dua. Seusai berganti pakaian, kemudian aku turun ke meja makan, di sana aku menemukan Kak Wena, Kak Steven, dan Bunda.

"Tania gabung ya." Ucapku seraya menarik kursi di samping Bunda.

"Mari di makan." Ucap Bunda mempersilakan semua orang yang ada di meja makan untuk makan.

Dengan lahap aku memakan makanan kesukaanku yang telah Bi Jihan buat.

"Maaf, Tante," suara Kak Steven membuatku memperhatikannya yang sedang menatap Bunda.

"Iya, Nak Stev?"

"Saya mau izin." Aku mengerutkan keningku. Izin? Izin apa? Izin untuk mengemudi? Ah! Apa sih Tania, nggak jelas!

"Izin apa?"

"Saya mau memacari anak Tante." Dengan cepat aku melirik Kak Wena yang pipinya tengah bersemu.

"Anak Tante ada dua."

"Tania."

Deg.

Demi Tuhan, aku terkejut. Benar-benar terkejut. Kalau kalian bisa lihat, kini aku sedang menganga lebar padahal aku tengah mengunyah makanan. Ah! menjijikkan!

"A-apa!" itu bukan suaraku, melainkan suara Kak Wena yang sepertinya terkejut.

Kami semua menatap ke arah suara, kecuali Kak Steven yang terus memandangiku.

"Ehem," deheman Kak Steven membuat kami kembali menatapnya, dan sekarang kecuali Kak Wena yang tengah menatapku sinis.

"Kamu mau kan?" tanyanya padaku.

Aku melongo tak percaya, "S-saya? Kenapa? Mau apa?" tanyaku polos.

"Jadi pacar saya?"

Pura-Pura MOVE ONTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang