[42] Fifth

648 33 0
                                    

Zidan menembakku, tapi aku tak suka padanya. Lalu, aku harus bagaimana? Terima? Atau tidak?

"Gue kasih jawabannya besok. Hati-hati di jalan ya." Ucapku setelah keluar dari mobil Zidan. Dia mengangguk lalu pergi.

Aku masuk ke dalam rumah dengan wajah datarku. Entah kenapa, Tania yang periang walau pendiam tiba-tiba berubah menjadi Tania yang suka murung setelah kepergian Arvan.

Padahal saat putus dari Galang pun, aku tak seperti ini. Ini pertama kalinya bagiku.

Aku benar-benar merasakan perubahan pada diriku sendiri.

"Tania!" panggil Kak Wena dengan ekspresi wajah yang berlawanan denganku. "Eh, kamu kenapa?" tanyanya bingung.

"Aku cuman kangen sama dia aja, Kak." Jawabku lesu. Dia merangkulku menuju sofa yang berada di ruang keluarga. "Lupakan dia, sebentar lagi kamu akan menjadi Aunty." Seru Kak Wena senang.

Eh, jadi Aunty? Tante? Bibi? Sejenis itukah? Artinya, kini Kak Wena tengah mengandung anaknya alias calon keponakanku?

Kurasa, wajahku yang tadinya murung, kini ikut berubah menjadi bahagia seperti Kak Wena. "Wah, selamat ya, Kak." Ucapku lalu berjongkok di hadapan perut Kak Wena. "Hey keponakanku, baik-baik di dalam sana ya. Aunty tunggu kehadiranmu di dunia ini."

"Siap Aunty." Jawab Kak Wena yang bersuara seperti anak kecil.

"Jaga dia baik-baik, Kak. Siapa tau, dia itu penawar yang Tuhan berikan untuk menyembuhkan luka-lukaku nantinya." Jawabku tiba-tiba sendu.

Kak Wena mengusap puncak kepalaku, "jangan terlalu larut dalam kesedihan yang berkepanjangan, itu gak baik." Ucapnya seraya tersenyum. Aku mengangguk lalu berjalan menuju kamarku.

◾◾◾

Setelah mendengar kabar bahagia dari Kak Wena, kini saatnya aku kembali bergelut dengan rasa sedih, bingung, dan takut.

"Apa aku terima si Zidan aja ya? Tapi aku gak suka." Aku berbicara sendiri layaknya orang gila. Namun sepertinya, aku memang sudah gila semenjak kepergian Arvan.

Tanpa sengaja aku menabrak seseorang di depanku, "eh, maaf." Ucapku refleks.

"Eh, Nengnya yang kemarin. Iya gak apa-apa." Ternyata dia office boy yang biasa bertemu denganku. "Abang gak apa-apa?" tanyaku memastikan. Dia mengangguk, "kita sering ketemu, tapi kita gak saling tau nama." Ucapnya tiba-tiba.

Aku langsung menjulurkan tanganku, "nama saya, Tania." Lalu dia membalas uluran tanganku, "saya-"

"Woi! Sini bantuin gue angkat tong sampah!" teriak seseorang dari belakang office boy itu.

"Maaf ya, Neng Tania, saya harus kembali kerja lagi." Pamitnya lalu mengangguk pergi dari hadapanku.

◾◾◾

"Kak, boleh minta tanda tangannya gak?" tanya perempuan yang wajahnya tak asing bagiku, namun aku lupa.

"Eh iya. Ini sudah." Ucapku setelah menandatangani selembar kertas HVS kosong.

"Kakak masih ingat aku gak?" tanyanya lagi. "Kamu adik kelas saya kan?" aku balik bertanya.

Dia mengangguk namun cemberut. "Em, aku coba ingat-ingat ya." Ucapku lagi. "Aku pernah bertemu Kakak di restoran keluargaku." Ujarnya.

Ah, benar, ternyata dia adik Juan yang katanya akan dijodohkan denganku. "Iya, Kakak ingat. Kamu adiknya Juan kan?" tanyaku memastikan, akhirnya dia mengangguk dengan senyumnya yang mengembang.

"Kamu sekolah di sini juga?" tanyaku berbasa-basi. "I-"

"Tania!" teriak Zidan dari belakang adiknya Juan. Aku balas melambaikan tangan ke arah Zidan.

"Kak Tania, namaku Hawa, aku pergi dulu ya Kak." Pamitnya setelah menyebutkan namanya. Tapi sebelum itu kulihat matanya yang terlihat tak suka pada Zidan.

Zidan yang baru sampai di hadapanku bingung karena Hawa yang tadi berbicara padaku tiba-tiba pergi.

"Gue ganggu ya?" tanyanya. Aku mengedikkan bahu karena aku tak tau. "Dia siapa sih?" tanya Zidan lagi.

"Adik kelas." Jawabanku membuat Zidan ber-oh ria.

"Tan, gimana?"

"Gimana apanya?"

"Jawaban lo."

Deg.

"Em..

gue..

mau."

💦💦💦

Tbc

26 Feb '18

Pura-Pura MOVE ONTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang