[13] Kecewa

975 49 5
                                    

"Udahkan? Ayo pulang." Ucap Guta menghancurkan suasana. Namun aku mengangguk mengiyakan, "Yaudah Kak, take care ya. Dan, jangan lupa buat move on. Tania pulang dulu." Ucapku seraya melambaikan tangan ke arahnya lalu pergi.

"Kayak orang pacaran aja." Ketus Guta. "Kenapa? Kamu cemburu ya?" ledekku namun dia hanya menggeleng. "Cuman jijik liatnya."

Aku mengedikkan bahu tanda tak peduli seraya berjalan mendahului Guta.

◽◽◽

"Tania, lo ke mana aja? Udah dua hari ini lo gak sekolah!" teriak Delila di seberang sana. Ya, kami sedang bertelepon, karena sepertinya dia khawatir padaku.

"Gue di rumah aja, Del. Gue cuman malas aja ke sekolah."

"Gue gak percaya. Gue bakal ke rumah lo buat mastiin keadaan lo. "

Aku hanya menghela napas ketika Delila berbicara seperti itu, itu tandanya dia benar-benar khawatir.

"Oke. See you later. Bye."

Klik.

Aku memutuskan telepon sepihak, karena aku ingin tidur.

Tak lama kemudian pintu kamarku terbuka perlahan. "Tania!" seru dua curut itu ketika memasuki kamarku.

"Tutup pintunya." Ucapku ketika keduanya tak menutup pintu kamarku.

"Udah." Jawab Delila.

"Mentang-mentang pemilik sekolah. Seenak jidat buat gak masuk kapan aja. Sikutu buku nih, khawatir tingkat dewa tau gak." Gerutu Vika melaporkan tingkah Delila ketika aku tak masuk sekolah. Aku hanya tertawa kecil mendengar ocehan Vika.

"Ya, gue males aja." Jawabku singkat.

"Lagian ya, selama lo gak masuk tuh, si Galnggh." Tiba-tiba Delila membekap mulut Vika.

"Kenapa?" tanyaku, Delila geleng-geleng menjawab pertanyaanku. Ah, pasti ada yang disembunyikan.

Tok.. tok.. tok..

"Masuk!" ucapku dari dalam. Kemudian muncullah Guta dengan nampan yang berisi tiga mangkuk makanan.

"Lah, Guta? Lo ngapain di sini?" tanya Vika penuh keterkejutan.

"Gue bakal jadi ipar dia. Dan hari ini, dia disuruh Kakaknya sekaligus calon Kakak gue, buat jagain gue." Vika mengangguk mendengar penjelasanku. Berbeda dengan Delila yang bernapas lega. Ada apa?

"Yaudah, nih makan. Nanti minumnya gue ambilin." Ucapnya seraya keluar dari kamarku.

Setelah selesai makan dan minum. Kegiatan kami selanjutnya adalah mengobrol seperti biasa. Membahas semuanya saat aku tak masuk.

"Galang gimana?" tanyaku refleks. Sepertinya pertanyaanku membuat kedua sahabatku ini menegang.

"Del, please, biar gue ngomong. Kalo dia tau langsung, itu bakal lebih parah." Ucap Vika pada Delila. Ini maksudnya apa sih? Tau langsung? Lebih parah? Memangnya kenapa?

"Biar gue yang ngomong," Delila mengambil napas panjang seraya menatapku penuh kelembutan.

"Gue harap lo jangan sakit hati ya, walaupun gue tau itu hati lo belum beres semuanya," ucap Delila menunjuk ke arah dadaku atau mungkin lebih ke jantungku. Aku hanya tersenyum.

"Galang, di D.O." Ucapnya tercekat. "Kok bisa?"

"Dia, ketahuan mesum di sekolah."

Respons pertama yang kuberikan adalah diam.

Aku diam.

Masih diam.

Sampai akhirnya, sebulir cairan bening lolos dari mataku. Sedikit demi sedikit.

"Ternyata dia beneran brengsek." Oke, untuk kali ini aku menggeram karena Galang. Rasanya bukan sakit, tapi kesal. Kesal, ya aku marah. Entah apa yang membuatku marah padanya. Tapi rasanya kemarahan ini menyesakkan dadaku. Semua kemarahan ini tak bisa ku lampiaskan dengan cara apa pun, kecuali menangis.

Setelah menangis hingga sore, sampai akhirnya dua temanku memutuskan untuk menginap di rumahku, karena kebetulan besok libur sekolah.

"Udah, Tan. Jangan nangis terus." Ucap Delila mengusap lembut punggungku.

"Jangan nangis, gue tau lo lebih kuat dari ini." Vika ikut bersuara.

"Dan menangis tanpa makan ataupun minum bakal bikin lo kecapekan. Iya, capek yang sia-sia." Kali ini Guta juga angkat suara.

Tiba-tiba, "Tania kenapa?!" teriak seseorang diambang pintu membuat semuanya menoleh. Ternyata itu Juan, ya, hanya Juan.

"Kamu kenapa, Tan?" tanya Juan khawatir.

"Galang, di D.O karena mesum di sekolah." Ucapku sesenggukan.

"Bagus dong. Kenapa kamu malah nangis?" tanya Juan heran.

"Aku kesel Juan. Tapi aku gak bisa marah."

Kemudian Juan melebarkan tangannya, aku mengerti, aku langsung memeluknya. Menangis sejadi-jadinya.

"Pukul aja, gapapa. Nangis aja, sesuka hati kamu." Aku mengikuti perkataan Juan. Aku menangis seraya memukul-mukul dada bidang Juan.

Sampai pada akhirnya aku tertidur dalam pelukan Juan.

💦💦💦

Tbc

Jakarta, 4 Februari 2018.
-Hnnywdwt.

Pura-Pura MOVE ONTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang