[6] Fail

1.2K 70 2
                                    

"Del, gue gak bisa kayak gini terus." Ucapku yang baru saja duduk di bangku, membuat Delila yang tengah asyik membaca novelnya kini menatapku dengan penuh tanya.

Beruntungnya si Setan alias Vika, belum datang, jadi aku bisa bercerita sepuasnya dengan Delila tanpa diganggu.

"Kenapa?" tanyanya seraya memasukan novel super tebalnya ke kolong meja.

"Gue nyaman sama Guta. Tapi gue masih sayang sama Galang." Keluhku, Delila mengusap bahuku lembut. Ia memang sahabat terbaikku.

"Gue emang masih terkunci sama masa lalu gue. Tapi gue ngerti sama apa yang lo rasain sekarang. Gue mau lo ngelakuin hal yang bikin diri lo bahagia, bukan menderita demi menuhin kemauin orang lain." Ucapnya seraya mengukir senyum tipis di bibirnya.

Aku menghela napas beratku. "Tapi gue nggak enak hati sama Guta. Seakan gue ngasih dia harapan palsu." Delila mengangguk, "kalo misalkan Razi gak ngasih saran ini. Mungkin hal kayak gini nggak bakal terjadi sama lo sekarang."

Kok Delila jadi nyalahin Razi?

"Tapikan tetap gue yang salah. Gue juga udah terlanjur nerima dia." Senyum simpul tercetak jelas di bibir Delila.

"Asal lo tau ya, Guta itu temen SD gue. Gue tau banget wataknya dia yang penyabar, bisa menerima apapun dengan lapang dada, karena dia itu tipikal teman yang paling bisa bersikap dewasa. Jadi kalo gue pikir-pikir, misalkan lo mau udahin hubungan ini juga dia nggak bakal marah kayak Galang kemarin."

Bagaimana bisa aku mengakhiri hubungan ku dengan Guta yang baru terjalin satu hari? Itu pasti sulit. Tapi tak ada salahnya juga aku mencoba saran dari Delila.


◾◾◾


"Guta," panggilku dengan suara yang amat pelan. Aku sedang gugup sekarang ini. Iya aku gugup karena aku sedang menghampiri Guta yang kini satu meja dengan Galang.

"Iya?" ia menjawab panggilanku. Dan keringat dingin terus bercucuran dari dahiku. "Ada apa, honey?" tanyanya lagi.

Kuberanikan diriku untuk berbicara, ku angkat kepalaku untuk menatap Guta, namun pandanganku malah lari ke arah Galang yang kini juga tengah menatapku membuatku menjadi semakin gugup.

"Kita bisa ngomong .. berdua nggak?" tanyaku ragu. Dia mengangguk dan langsung menarikku menjauh dari kerumunan teman-temannya.

Fyuuh! Akhirnya aku bisa bernapas lega karena telah lepas dari tatapan Galang.

"Ada apa?" tanyanya lagi ketika kita duduk di salah satu bangku yang berada di koridor kelas sepuluh IPS.

"Aku harap, kamu nggak akan benci aku," Dia mengangguk seakan tau apa yang akan aku bicarakan padanya.

"Aku mau kita ... p-putus." Ucapku sedikit terbata. Namun respons yang kudapatkan dari Guta sungguh di luar dugaan. Ia hanya tersenyum simpul seraya menggenggam tanganku.

"Aku udah duga kata itu akan keluar dari mulut kamu dalam jangka waktu yang entah, nggak bisa kuperhitungkan. Tapi ternyata, itu keluar setelah sehari kamu jadi pacar aku." Ucapannya berhasil menohok hatiku.

"Maaf." Lirihku.

"Kamu nggak perlu minta maaf sama aku. Aku sayang sama kamu, sayang sama seseorang bukan berarti kita harus memiliki dia kan? Aku rela mengorbankan perasaan aku buat kamu. Aku cuman mau kamu bahagia," ucapnya seraya menatap lurus ke depan.

"Kita putus, bukan berarti kita berhenti berteman. Aku mau kita tetap berteman. Aku mau kamu anggap aku seperti kamu menganggap Razi sebagai sahabat kamu. Atau kamu ingin aku menjadi seorang kakak buatmu. Agar kamu bisa terus merasa terlindungi? Aku siap." Pintanya membuatku meneteskan air mata bahagia.

Aku bahagia, karena dia tidak marah padaku. Aku bahagia bisa melepaskan rasa sakit yang mengikat hatiku. Dan setelah ini, aku akan belajar move on dari Galang dengan bantuan keempat sahabatku.

Setelah itu, aku kembali ke kelas untuk menemui Delila. "Gimana?" tanyanya dengan raut wajah penasaran.

Aku mengangguk, "Udah, dan sekarang dia temanku." Dengan cepat Delila memelukku, dan aku membalas pelukannya.

"Gini dong, senyum, senyum bahagia maksudnya. Jangan sedih lagi, oke?! Gue bahagia bisa liat sahabat gue juga bahagia."

Pura-Pura MOVE ONTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang