[36] The End of Arvan

639 39 1
                                    

Sekolah hari ini sepi rasanya, karena tak ada Arvan yang terus di sampingku.

"Tania, Hei!" panggil Aklea yang melambai-lambaikan tangannya di hadapanku. Oh, aku sedang melamun.

"Iya, Kle?"

"Maafin gue ya, gara-gara gue, lo jadi begini." Ucapnya. "Gak apa-apa, Kle, lagian di sana Arvan juga pasti bakal cepat sembuh."

"Gimana kalo kita tengokin Arvan?" Zidan yang tak berbicara akhirnya ikut memberi usul.

"Gue ikut ya." Seru Natalie dari sebelah Aklea. "Iya, gue juga ikut ya, Tan."

"Yaudah, kita pergi naik mobil gue aja." Ucap Zidan.

"Lo bawa mobil?" tanyaku heran.

"Iya, tapi gue titip sama saudara gue yang rumahnya dekat dari sini." Jawabnya.

◾◾◾

"Tan, serius ini rumah sakit tempat Arvan?" tanya Zidan yang sepertinya tak yakin.

Aku mengangguk yakin. Lalu berjalan masuk mendahului teman-temanku. Aku yang hafal betul nomor ruangan Arvan langsung menuju kamarnya.

Kemudian penjaganya langsung membukakan kamar Arvan untukku.

"Arvan?" panggilku padanya yang tengah melamun. "Arvan ini aku, Tania, pacar kamu."

Dia menoleh ke arahku dengan wajah tanpa ekspresi, "Pacar? Pacar Arvan? Arvan punya pacar?" tanyanya seperti tak mengenalku.

"Iya, Tania pacar Arvan."

"Pacar? Pacar, Arvan punya Pacar!" serunya yang langsung memelukku. Aku menangis lagi, menangis untuk ke sekian kalinya.

"Arvan ... Tania kangen sama Arvan." Lirihku di sela-sela pelukan kami.

"Tania, Tania, itu siapa?" tanya Arvan yang menunjuk-nunjuk ke arah Aklea, Natalie, dan Zidan.

"Mereka teman kita Arvan, mereka Teman."

◾◾◾

Aku dipaksa pulang oleh ketiga temanku karena hari hampir larut. Arvan pun juga ikut bersedih.

Dan hampir setiap hari aku berkunjung ke sana, mau ditemani temanku, sopir pribadiku, Kakakku, Guta, Ayah atau Bunda, bahkan terkadang ditemani Kakak angkat Arvan.

Sekarang, genap 11 bulan hubunganku dengan Arvan dan sudah 6 bulan Arvan di rumah sakit itu, keadaannya tak membaik walau sedikit pun. Aku jadi sering ke sana.

Tiba-tiba handphoneku berdering, tanda telepon masuk.

Ah, dari pihak rumah sakit. Kuharap, aku akan mendapatkan kabar bagus, seperti Arvan sudah diperbolehkan pulang misalnya. Sudah tak terbendung lagi rasa senangku, aku mengangkat telepon itu.

"Halo selamat siang."

"Selamat siang."

"Maaf, Mbak Tania, kami hanya ingin menyampaikan sebuah berita."

Aku mengerutkan keningku.
"Berita apa ya?"

"Arvan-"

"Kenapa Arvan?!"

"Arvan bunuh diri dan meninggal di tempat."

"Apa?! Kalian ini bagaimana sih, seharusnya kalian membuat Arvan sembuh, bukan meninggal! Kalian harus bertanggung jawab."

"Tapi, Mbak, itu di luar kehendak kami-"

Aku memutus sambungan teleponnya sebelum aku ikut menjadi gila. Aku memutuskan untuk menelepon Juan, untuk menjemputku.

"Halo, Juan."

"Halo, kenapa nangis? Minta jemput ya? Gak bisa aku lagi ada kuis."

"Tapi Juan-"

"Udah ya, nanti aku ke rumah kamu, bye."

Teleponnya dimatikan, aku benar-benar ingin teriak sepuasnya untuk melampiaskan semua kekesalanku. Namun sayang, aku masih berada di lingkungan sekolah, jadi kini tangisku benar-benar tertahan.

"Neng?" panggil seseorang dari belakangku. Aku mengusap air mataku kasar, lalu menoleh ke belakang.

"Maaf ganggu, Neng kenapa ya? Kok menangis gitu?" ternyata dia hanya office boy yang sering kujumpai.

"Saya gak apa-apa kok bang, cuman kelilipan." Elakku berusaha tegar di hadapan orang lain.

"Gak usah bohong Neng, itu wajah neng merah banget kayak orang habis nangis. Neng kalo mau minta tolong sama saya, bilang aja, saya mau kok bantu Eneng."

"Makasih ya Bang, kalo gitu, Abang mau antar saya ke rumah sakit jiwa?"

"Mau ngapain neng?"

"Nengokin pacar saya."

"Iya Neng, bentar saya ambil baju sama ambil motor saya dulu." Pamitnya, lalu aku menunggunya di depan gerbang sekolah.

Kemudian dia datang dengan motor maticnya, "Ayo Neng, naik."

Kami berjalan menuju rumah sakit yang ku maksud, kulihat di sana ada mobil ambulans yang sepertinya siap untuk mengangkut jenazah Arvan.

"Maaf ya Mbak Tania. Jenazah Arvan akan di bawa ke rumah duka, jadi lebih baik, Mbak langsung ke rumah duka saja." Ucap salah satu pengurus Arvan.

Aku dan office boy yang mengantarku ini, langsung pergi ke rumah duka. Sesampainya kami di sana, kami sudah disambut dengan hadirnya keluargaku dan semua teman-teman dekatku.

Wajah Ayah dan Bunda menampakkan sebuah kesedihan dan sebuah kebahagiaan secara bersamaan. Ada apa dengan mereka?

💦💦💦

Tbc

24 Feb '18

Pura-Pura MOVE ONTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang