[53] Again?

544 33 0
                                    

"Ayah mau, kamu cepat bertunangan dengan Juan." Ucap Ayah di sela-sela mengunyah.

Aku tak terkejut. Malahan aku memasang wajah yang seakan aku tak mendengar ucapan Ayah barusan. Berbeda dengan Bunda dan Kak Wena yang terkejut.

"Kenapa secepat itu, Yah?" tanya Kak Wena setelah meneguk air minumnya.

"Lebih cepat lebih baik." Jawab Ayah, membuatku ingin menyudahi makan malamku sesegera mungkin. Setelah dirasa cukup makan malam kali ini, aku memutuskan untuk pergi ke kamar tanpa menghiraukan panggilan Ayah ataupun Bunda.

Aku masuk ke dalam kamar, lalu menguncinya. Aku sedang tak ingin diganggu siapa pun. Aku ingin sendiri.

Di kamar yang sunyi ini, aku benar-benar tak melalukan apa pun. Aku hanya merentangkan tubuh di atas kasurku. Tanpa menangis ataupun marah. Aku sedang mencoba melepas semua rasa sakit di hatiku.

Tok.. Tok.. Tok..

"Pergi! Aku sedang ingin sendiri!" teriakku tanpa beranjak sesenti pun dari kasur.

Tok.. Tok.. Tok..

"Aku bilang, pergi! Aku ingin sendiri!" teriakku lagi, kali ini aku terduduk karena kesal.

Tok.. Tok.. Tok..

Ih, siapa sih? Tuh orang punya telinga atau enggak? Dibilang pergi, bukannya pergi, malah mengetuk lagi.

Kali ini aku kesal, iya aku kesal. Aku berjalan ke arah pintu, untuk mengetahui siapa yang mengetuk pintuku.

Aku membuka pintu, "kalo dibilang pergi ya per- Zidan?"

Zidan, yang di depan pintuku sekarang ini Zidan. "Z-Zidan, kamu ngapain di sini?" tanyaku yang kebingungan karena tiba-tiba Zidan bisa masuk ke dalam rumahku. Padahal yang kutahu, Bunda itu sangat menentang hubunganku dengan Zidan.

"Aku mau ketemu sama kamu." Jawabnya polos. Kini aku benar-benar bingung dibuatnya, bagaimana caranya ia bisa masuk sampai ke depan kamarku. Apa jangan-jangan Zidan arwah juga seperti Arvan?

Aku mencoba memegang wajahnya, namun ia malah menghindar. "Ada apa?" tanyaku, dia menggeleng, "tak ada apa-apa."

"Kenapa menghindar?" tanyaku lagi, dia menggeleng lagi, "gak kenapa-napa, pengen aja gitu."

"Dasar aneh, eh iya, bagaimana caranya kamu bisa masuk ke rumah?" tanyaku padanya. Dia mengedikkan bahu, "entahlah, tiba-tiba aku dipanggil untuk menemuimu. Dan dengan senang hati aku datang ke rumah kamu." Jawabnya.

Entah kenapa, rasanya ada sesuatu yang mengganjal. Perasaanku tak enak, ada apa ini sebenarnya?

"Tania! Ayo turun, kita makan dulu. Jangan lupa ajak Zidan." Teriak Kak Wena dari lantai bawah. Suaranya menggema di rumahku yang besar ini.

Mau tak mau aku mengajak Zidan turun ke lantai bawah untuk ikut makan bersama keluargaku. "Ayo, silakan duduk." Kak Wena mempersilakan aku dan Zidan untuk duduk.

Ketika semuanya sudah berkumpul untuk makan bersama dan sudah mengambil makanannya masing-masing, tiba-tiba Ayah berdehem untuk menarik perhatian semua orang yang ada di meja makan.

Aku masih terus melanjutkan kegiatan makanku tanpa menghiraukan Ayah, perasaanku benar-benar tak enak. Maka dari itu, aku lebih memilih untuk mengabaikan Ayah.

"Tania," panggilnya, aku hanya menoleh sekejap, lalu kembali makan.

"Zidan," kini nama Zidan yang dipanggil, "iya, Om." Zidan menjawab panggilan Ayah dengan sopan.

"Apa kamu menyayangi, Tania?" tanya Ayah. Ah! Perasaan tak enakku ini sebentar lagi pasti akan terkuak. Kulihat Zidan mengangguk Yakin, "iya, Om."

"Kamu mau melihat Tania bahagia? Dan orang tua Tania juga bahagia?" pertanyaan Ayah benar-benar menjurus dengan apa yang aku pikirkan.

Zidan mengangguk lagi, "kalau begitu, putuskan Tania. Karena Tania sudah di jodohkan dengan orang lain."

💦💦💦

Tbc..

17 Mar 2018

Pura-Pura MOVE ONTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang