[7] Gak Mungkin

1.1K 65 4
                                    

"Duh! Bu Rini kenapa nggak nyuruh Natta aja sih?! Dia kan ketua kelas! Kenapa juga nggak dia aja yang disuruh bawa buku-buku sebanyak ini?!" gerutuku yang kini sedang berjalan menuju perpustakaan dengan membawa buku latihan matematika tebal yang bertumpuk-tumpuk, membuatnya menjadi lebih tinggi dan menutupi pandanganku.

Eh! Eh! Kenapa nih?!

Tiba-tiba jalanku oleng karena tidak sengaja menginjak benda yang berada di bawahku.

"Woy! Bola kastinya jangan diinjek!" teriak seseorang dari arah yang berlawanan. Namun aku tak bisa melihatnya dengan jelas, sebab buku-buku ini menghalangi pandanganku.

"Eh, sorry." Ucapku ketika melihat seseorang menunduk di sampingku, ia sedang mengambil bola kastinya yang tadi ku injak sebagian.

Ketika aku ingin melihat siapa yang mengambil bolanya, mataku tertuju padanya. Seakan tak bisa berkedip lagi, tapi dia malah memandangku kesal.

Lalu ia pergi melewatiku begitu saja, meninggalkan aku dengan buku-buku yang masih bertumpuk di tangan.

Sesaat aku tak fokus karena terus memperhatikan punggungnya yang mulai menghilang di belokan tangga. Seusainya, buku-buku yang berada di tanganku hampir saja terjatuh.

"Eits!" ternyata buku-bukuku tak jadi jatuh. Huft! Untung saja.

Eh, tapi siapa yang menahannya?

Tidak lama kemudian ada seseorang yang mengambil alih tiga perempat buku yang kubawa.

Dia laki-laki. Tapi siapa?

Setelah membawa buku-buku dari tanganku, dia langsung pergi masuk ke dalam perpustakaan yang hanya beberapa langkah lagi dari tempatku berdiri sekarang ini.

Dari dia mengembalikan buku pada Bu Rini sampai dia keluar perpustakaan, entah kenapa aku ingin memandangnya terus. Bukan karena suka, tapi karena wajahnya familier bagiku.

"Lo ngapain ngeliatin gue mulu? Gue tau gue ganteng. Tapi ngeliatinnya nggak usah segitunya juga." Ucapnya ke-pede-an membuatku langsung berhenti memperhatikannya.

Aku mendelik padanya yang masih memasang tampang tengil di hadapanku. "Ngapa dah lu?"

Aku mengerutkan alisku, "Apanya?"

"Eh, lo Tania, mantannya Galang ya?" tanyanya dengan tatapan menelisik yang masuk ke dalam pandanganku.

Deg!

"Gue pernah liat lo nyamperin Guta waktu itu."

Lah terus apa hubungannya sama Galang? Eh tapi, berarti feelingku benar, wajahnya pernah kulihat. Ternyata dia memang ada waktu aku nyamperin Guta, dia masih teman dari Galang juga.

"Kenalin, nama gue Akbar." Ucapnya memperkenalkan diri. Aku membalas uluran tangannya singkat, "Tania."

"Gue bisa bicara berdua sama lo nggak?" tanyanya. Aku mengangguk, "Tapi kita udah berdua." Ucapanku membuatnya melihat ke sekeliling. "Oh iya ya."

Aku geleng-geleng kepala melihat tingkah anehnya.

"Ayo ikut gue!" ajaknya, ia terus berjalan sedangkan aku mengekorinya sampai di depan pintu masuk sekolah.

"Lo punya tisu?" aku menggeleng, lagian tisu buat apa?

"Gue sepupu dari Galang," matanya menatap manik mataku serius. "Meskipun lo udah putus sama Galang, sebenarnya gue pengen banget bilang ini ke lo, dari awal. Tapi gue kalah cepat, dia malah udah minta lo jadi pacarnya, yaudah gue nggak bisa berbuat apa-apa lagi kalo dia udah nembak cewek yang dia suka," dia menjeda ucapannya sesekali menghembuskan napas kasar.

Aku menaikkan satu alisku, "Terus kenapa?"

"Gue tadinya pengen bilang," suaranya mulai merendah. "Kalau sebenarnya, lo itu bukan cewek Galang satu-satunya." Kini suaranya seperti suara orang yang sedang mengakui kesalahannya.

"Maksud lo?" dan sekarang aku benar-benar bingung maksud dari semua ucapan Akbar.

"Lo selingkuhannya Galang."

Deg!

Bagai disambar petir siang bolong. "M-mana mungkin? Galang nggak mungkin kayak gitu!"

Dia memegang bahuku, "tapi itu faktanya. Dua hari sebelum lo putus sama Galang, cewek pertama si Galang tau kalo Galang punya selingkuhan. Dan cewek itu sempat mau nyamperin lo, beruntungnya dia bisa gue tahan."

Aku menggeleng tak percaya, bagaimana bisa Galang seperti itu? Ini pasti hanya mimpi! Iya mimpi! Kucubiti lenganku, tapi masih berasa sakit. Berarti ini nyata. Nggak mungkin!

"Gue tau kalo mungkin aja lo nggak percaya sama gue. Tapi gue serius. Maafin gue ya, kalo gue harus bilang kayak gini sama lo. Gue gak bermaksud buat bikin lo makin sakit ataupun benci sama Galang. Gue cuman antisipasi, takut lo balikan lagi sama dia." Ucapnya lagi kali ini seraya mengusap bahuku lembut.

Aku tersenyum padanya, berusaha untuk terlihat baik di hadapan Akbar. "Gak apa-apa."

"Gue lakuin ini biar lo tau busuknya saudara gue itu. Maaf ya. Gue harap lo bisa ngerti, dan yang pasti, semoga lo bisa cepet move on dari Galang." Dia berusaha menyemangatiku. Aku mengangguk.

"Maafin si player itu ya. Dan, Tan, gue balik duluan ya. Lo yang sabar." Ucapnya menepuk bahuku pelan lalu pergi meninggalkanku sendiri.

Kalimat-kalimat itu bagai penghancur tiang dalam hatiku. Sakit!
Hati yang tadinya ingin kusatukan kini malah hancur lagi. Dan sekarang aku malah menangis, seperti orang lemah padahal menangis itu menandakan bahwa sebenarnya aku kuat. Tapi tetap saja, aku seperti orang lemah. Ini semua karena Galang.

Pura-Pura MOVE ONTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang