[23] Orang Ke-3

774 49 0
                                    

- Orang ketiga hadir karena adanya celah untuknya masuk. Alasan lainnya, karena hanya ada satu kesetiaan dari dua orang. -

_____________

Kak Stev, mau apa lagi dia ke Jakarta? Bawa koper banyak lagi. Apa jangan-jangan ...

Ah! Tania! Mikir apa sih. Jangan mikir macam-macam. Siapa tau dia ke sini mau cari pelarian, karena di luar sana dia gak dapat.

"Um, hai Kak." Aku mencoba menyapanya walau canggung.

"Hai Tania." dia balik menyapaku, dan dia saling pandang dengan Kak Ferdinan.

"Tania, dia siapa?" Kak Ferdinan bertanya padaku, padahal dia sendiri belum menjawab pertanyaanku tentang siapa Naila.

"Oh, ini Kak Steven. Dia masih teman Kak Wena." Jelasku memperkenalkan Kak Steven pada Kak Ferdinan.

Kak Ferdinan mengangguk, ia langsung berkenalan dengan Kak Steven.

"Ferdinan."

"Steven."

Aku menyenggol lengan Kak Ferdinan. "Apa?" tanyanya.

"Itu siapa Kakak?" tanyaku seraya melirik ke arah Naila yang menatapku dengan sinis.

Kak Ferdinan yang menyadari aku ditatap seperti itu langsung membalas tatapan sinis Naila dengan tatapan tajamnya.

"Jangan pernah Anda pandang Kakak saya dengan tatapan sinis menjijikkanmu itu, Jalang!" bukan Kak Ferdinan yang mengatakan itu, tapi Salya. Padahal ku kira, Kak Ferdinan yang akan menegur pramugari itu.

"Kalau saja kamu bukan Adik Ferdinan, kamu sudah akan kulenyapkan." Bisik Naila pada Salya namun masih dapat kudengar.

Kini keduanya saling menatap dengan sinis. Sampai akhirnya, "Tania, Salya, ayo kita pergi dari sini." Ucap Kak Ferdinan yang pergi mendahuluiku dan Salya.

"Kak, aku pergi dulu ya." Pamitku pada Kak Steven dan langsung berlari mengejar Kak Ferdinan dan Salya.

◽◽◽

Kami tiba di kediaman keluarga Kak Ferdinan. Aku yang sudah terbiasa bermain ke rumah Kak Ferdinan, sudah menganggap rumahnya seperti rumahku sendiri.

Aku merebahkan tubuhku di sofa panjang yang terletak di ruang tamu ditemani Salya.

Kemudian asisten rumah tangga Kak Ferdinan datang membawakan kami tiga gelas minuman, berbarengan dengan Kak Ferdinan yang keluar dari kamarnya.

"Kak," panggilku. Dia mempercepat langkahnya lalu duduk di sampingku.

Dia meletakkan kepalanya di bahuku yang lebih pendek darinya. "Apa?"

"Kakak berat ih!" teriakku seraya mendorong kepala Kak Ferdinan agar menjauh.

"Aku kangen tau!" dia balas berteriak, namun ia langsung memelukku dari samping. Aku memberontak agar dia melepaskanku.

"Malu diliatin sama Salya." Bisikku pada Kak Ferdinan, kemudian ia melepaskan pelukannya. Salya hanya geleng-geleng kepala seraya tertawa kecil melihat tingkah laku kami berdua.

"Tadi kamu panggil Kakak kenapa?" tanyanya seraya mengambil segelas minuman yang ada di meja. "Aku mau tanya, Naila itu siapa?"

"Kamu jangan tanya sama aku, tanya aja sama Salya."

Kemudian aku mengalihkan perhatianku pada Salya.

"Kakak mau tanya aku?" aku mengangguk yakin.

"Jadi, Naila itu, Kakak dari Kakak kelas aku,"

"Terus?"

"Aku lupa kejadiannya kayak gimana sampai akhirnya Naila ketemu sama Kak Ferdinan. Dan dia suka sama Kakakku yang nyebelin itu."

"Lah, terus kenapa kamu kayak gak suka gitu sama dia?" tanyaku lagi.

Dia menarik napasnya, "Dulu, pernah ada yang hampir pacaran sama Kak Ferdinan. Dia baik, cantik, top banget deh! Tapi karena obsesi si Naila buat dapetin Kak Ferdinan itu bikin Kak Jessie menjauh dari Kak Ferdinan." Jelasnya, aku mengangguk-angguk.

"Oh, namanya Jessie. Dia cantik ya. Lalu, ke mana dia sekarang?"

"Dia udah tenang, Kak."

"Maksudnya?"

"Dia meninggal."

"Tapi Kakak masih suka sama dia?" kini aku berpaling bertanya pada Kak Ferdinan.

Kak Ferdinan mengangguk, "Dan kebetulan kemarin aku dipindah tugaskan. Aku sekalian berkunjung ke makam Jessie."

"Aku turut berduka ya, Kak." Ucapku, dia malah mengerutkan keningnya, "Kenapa?"

"Kamu gak kesel aku masih suka sama dia?" aku menggeleng, lagi pula, untuk apa aku kesal, Jessie kan sudah tiada.

"Kamu gak anggap pernyataan itu benar?" aku menggeleng lagi, kini aku bingung dengan perkataan Kak Ferdinan.

"Aku benar-benar belum bisa melupakannya. Dan setelah kalian membahas ini, rasa untuknya kembali hadir dalam hati Kakak."

"Ma-maksudnya?" tanyaku tergagap.

"Iya, setelah cerita tadi. Rasanya rasa untuk kamu memudar, Tania."

"Kakak pasti bercanda? Iya kan? Jangan bercanda dong, Kak."

Dia menggeleng pelan, "Kakak serius."

"Jadi, maksud Kakak ... "

Belum selesai aku menyelesaikan kata-kataku, "Maaf, Tania. Lebih baik kita putus saja."

💦💦💦

Tbc

15 Feb '18

Pura-Pura MOVE ONTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang