[37] I'm (not) Strong

650 36 4
                                    

- Kehilanganmu sama seperti kehilangan setengah dari bagian diriku. -

_____________

"Kami turut berduka atas meninggalnya Arvan ya, Tania." Ucap Ayah yang mewakilkan semuanya. "Iya, kita juga ikut berduka. Lo yang sabar ya." Ucap Aklea seraya mengusap pelan bahuku.

Aku memasuki rumah Arvan yang kini ramai, karena banyak orang yang ikut berduka cita atas meninggalnya Arvan. Aku terus berjalan sampai berdiri tepat di samping tubuh Arvan yang terbaring kaku.

"Kakak yang sabar ya, Tania turut berduka cita." Ucapku pada Kak Dio yang berada di depanku. Aku yang menahan tangis, terus menatap wajah pucat Arvan. "Harusnya Kakak yang bilang itu ke kamu. Kamu yang sabar ya." Ucapnya menatapku penuh rasa bersedih.

Aku mengangguk, aku memang benar-benar merasa kehilangan orang yang kusayangi setelah keluargaku.

"Van, kamu udah sembuh ya?" Tanyaku pada Arvan yang jelas-jelas tak akan menjawab pertanyaanku.

"Van, kamu udah bahagia belum di sana?" Tanyaku lagi, kali ini, bulir-bulir cairan bening terus menetes mengenai tangan dingin Arvan.

"Van, aku sedih." Ucapku, hatiku lebih sakit saat ku tau Arvan telah pergi untuk selamanya, daripada ketika aku mengetahui bahwa Galang adalah seorang player.

Aku terus memperhatikan wajahnya yang kini diam tanpa ekspresi sedikit pun. Ingin rasanya ku guncang-guncangkan tubuhnya agar ia kembali hidup. Namun apa daya takdir yang pasti tak mengizinkan Arvan untuk hidup kembali, karena dari info yang kudapat, Arvan meninggal karena dia memutus urat nadinya.

Dan aku tau, urat nadi itu tak akan pernah kembali bersatu tanpa kehendak Tuhan.

Sama seperti aku dan dia yang sama-sama tak akan pernah kembali bersama untuk selamanya.

"Van, luka-luka ini, akan jadi sebuah kenangan bagiku untuk mengingat semua rasa cinta kamu untukku." Lirihku seraya mengusap dahi tempat di mana Arvan pertama kali melukaiku karena aku melanggar peraturannya.

Tiba-tiba bahuku terasa berat, seperti ada orang yang tengah merangkulku, namun tak ada orang yang mendekatiku selama aku berbicara dengan Arvan. Atau mungkin karena aku terlalu lelah.

'Maafkan aku, aku hanya ingin kamu bahagia tanpa terbebani. Aku sayang kamu.'

Embusan angin lembut membelai rambutku yang terurai, namun embusan itu seperti orang yang tengah berbicara.

A-arvan?

Itu ... bisikan Arvan? Arvan masih hidup? Arvan belum meninggal! Arvan hidup!

"Arvan! Arvan kamu masih hidup kan?!

Arvan jangan bercanda! Gak lucu bercanda kamu! Ayo jawab aku! Aku tau kamu cuman pura-pura kan? Iyakan?! Jawab aku Arvan!" Teriakku seraya mengguncang-guncangkan bahu Arvan.

Tiba-tiba pergerakanku tertahan, "Tania, lepasin Arvan. Arvan udah pergi, lo gak boleh kayak gini." Ucap Zidan yang tengah menahan lenganku.

"Zidan, tapi gue denger tadi Arvan ngomong sama gue, tadi dia bilang kalo dia sayang sama gue. Terus-terus tadi dia ngerangkul gue." Teriakku seraya menunjukkan bahuku yang tadi arwah Arvan rangkul.

Hm, arwah ya? Jadi tadi bukan Arvan? Jadi tadi itu hanya halusinasiku?

"Kamu tenang Tania, kalo kamu kayak gini, gue yakin Arvan pasti ikut sedih." Ucap Zidan menenangkanku.

Aku menggeleng tak percaya, jadi tadi itu halusinasiku?

Tiba-tiba semuanya gelap. Kepalaku benar-benar pusing.

Kuedarkan pandanganku ke sekelilingku. Aku menemukan satu titik putih di sana, "Tania."

Ada suara, tunggu, itu suara Arvan!

"Arvan? Kamu di mana?" teriakku seraya terus berjalan ke arah titik putih tadi.

"Aku ada di belakang kamu Tania." Ucapnya, spontan aku langsung berbalik, dan benar saja dia tengah berdiri di belakangku. Dia menatapku penuh kebahagiaan.

Aku langsung berlari mengejarnya, aku memeluknya. Dan ini ... nyata.

"Kamu nyata, Van! Kamu masih hidup!" teriakku di dalam pelukannya.

Arvan menggeleng seraya tersenyum, dia mengendurkan pelukan kami.
Lalu dia mengusap puncak kepalaku dan mengecupnya.

"Kamu tau apa arti bahagia?" Tanyanya, aku menggeleng seraya terus menatapnya.

"Bahagia buatku itu jarang aku rasakan setelah semua keluargaku pergi meninggalkanku sendiri. Dan sekarang aku akan menyusul mereka semua di sana," Ucapnya seraya menunjuk ke arah gerbang yang sangat tinggi dan besar. Di sana pun tengah berdiri dua orang laki-laki dan dua orang perempuan yang melambai ke arahku, aku hanya tersenyum menjawab lambaian tangan mereka.

"Dan, ketika kamu hadir, semuanya berubah. Abu-abu itu seketika berubah menjadi pelangi. Sekarang, bahagiaku itu adalah ketika melihatmu bahagia juga, Tania." Ucapnya membuat sebulir cairan bening lolos dari mataku.

"Kamu jangan menangis, Tania." Dia mengusap air mataku yang jatuh, lalu aku menahan tangannya. "Apa itu artinya kamu juga akan pergi?" tanyaku yang kini berusaha menahan tangis.

Arvan langsung memelukku lagi. "Maafkan aku, Tania. Aku akan selalu berusaha untuk menjagamu dari jauh. Aku hanya ingin kamu bahagia walau tanpaku." Ucapnya membuat tangisku makin menjadi.

"Aku gak bisa, hiks."

Dia memelukku lebih erat, "aku yakin kamu bisa. Setelah ini, tolong lupakan aku." Ucapnya melepaskan pelukan di antara kami.

"Van,"

"Aku sayang kamu Tania."

Seketika dia menghilang dari pandangan mataku.

"Arvan!"

"Syukurlah, Tania, akhirnya kamu sadar juga." Ucap Bunda yang mengelus-elus punggungku.

"Bun, Arvan."

Bunda langsung memelukku, "Arvan udah gak ada, sayang. Kamu harus kuat."

"Tapi tadi aku ngobrol sama Arvan, Bunda." Ucapku meyakinkan Bunda.

Bunda tersenyum menjawab ucapanku, "Kamu harus kuat, kamu harus buat dia bahagia dengan cara bikin diri kamu sendiri bahagia."

💦💦💦

Tbc.

24 Feb '18

Pura-Pura MOVE ONTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang