[33] Suka sama Dia? Hell No!

651 42 4
                                    

- Perasaanku padamu itu ibarat air yang mengalir dari hulu ke hilir. Air yang mengalir tanpa kenal arah, air yang mengalir tak tahu arah tujuan yang pasti. Dan seperti itulah perasaanku. -

_____________


Kejadian itu membuat Aklea yang tadinya menangis tiba-tiba berhenti dan memutuskan keluar kelas.
Sedangkan aku dan Arvan? Jelas, kami sedang bertengkar.

Dia selalu menampilkan senyum miringnya setiap melihatku. Dan aku benar-benar tau dia, aku terima risiko untuk pulang sekolah nanti.

Tiba-tiba dia meletakkan selembar kertas dengan tulisan bertinta merah.

' Siapkan dirimu. '

Aku siap tanpa kamu minta, karena aku tau setiap risiko yang akan aku terima setiap kita bertengkar.

Dan benar saja, pulang sekolah pun, Arvan tak langsung mengantarku pulang. Dia membawaku ke rumahnya, rumah yang hanya di huni oleh dia dan Kakak angkatnya.

"Masuk!" perintah Arvan padaku. Aku berjalan memasuki kamarnya yang benar-benar bersih.

Dia memang menyakitiku, namun tak pernah sekalipun dia merebut kehormatanku.

"Kamu mau main sama yang mana?" tanya Arvan seraya menunjukkan koleksi pisau-pisaunya yang ia gantung di balik pintunya.

"Pisau lipat yang biasa kamu gunakan. Itu sudah cukup menyakitiku Azrav." Ucapku pada diri Arvan yang lain. Ya, aku memanggilnya 'Azrav', karena dia bukan Arvanku.

"Tapi kali ini berbeda, sayangku. Rasanya, hatimu itu sudah ingin berpindah. Bagaimana dengan pisau cukur yang baru saja ku asah kemarin?" tanyanya membuatku merinding.

"Arvan, tolong aku dari kekejaman Azrav." Lirihku, tiba-tiba Arvan menjauh. "Maafkan aku, Tania."

"Tolong aku, Arvan."

"Maaf sayangku, aku Azrav. Dan bagaimana dengan tawaranku? Apa kamu menyetujuinya?" tanyanya seraya tersenyum miring.

Aku hanya memejamkan mataku, aku benar-benar pasrah.
Kudengar derap langkah kakinya mendekat ke arahku, "Mari kita mulai." Ucapnya.

Keringat dingin terus mengucur, menandakan aku benar-benar ketakutan.

Lalu kurasakan perih pada perut bagian atasku. "Aw!"

"Sakit ya?" tanyanya, lalu mengusap-usap luka yang tadi ia buat. "Perih."

Keringat yang terus mengalir membuat lukaku makin menjadi, walau kurasakan Azrav hanya menggoresnya sedikit.

Kemudian dia mencium luka yang tadi ia buat. "Manis, aku suka darahmu." Ucapnya membuatku meringis kesakitan. Aku hanya mampu meremas-remas kasur Arvan yang tengah kutiduri.

Tiba-tiba Arvan melempar pisau cukurnya. "Maafkan aku, Tania." Lirihnya lalu membersihkan lukaku dengan tisu, kemudian mengecup dahiku lama.

"Gak apa-apa. Aku yang salah, bukan kamu." Ucapku.

◽◽◽

Setelah kejadian kemarin, Arbani jadi sering terus ke kelasku. Dia ke kelasku hanya untuk berbicara sebentar dengan Arvan, menyapa Aklea, lalu pergi begitu saja. Dan setiap dia datang ke kelasku, aku selalu memasang earphone lalu kuputar lagu kesukaanku sekeras-kerasnya sampai dia pergi dari kelasku.

Aklea menggoyangkan lenganku, "Lu kenapa sih, Tan?" tanyanya tiba-tiba. Aku melepas aerphone ku, "Apa?"

"Lo ada masalah apa sih? Sampai dengerin lagu lewat earphone tapi lagunya bisa sampai kedengaran sama gue."

Aku terkekeh menyadari itu, "Gak ada apa-apa. Cuman pengen aja."

Sebenarnya aku mulai menaruh rasa pada Arbani tapi aku tak bisa, karena Arvan belum mau mengakhiri ini semua. Dan lagi, Arbani malah menaruh perhatian pada Aklea, membuatku benar-benar kesal.

"Jangan bohong deh. Lo suka ya sama Arbani?"

"Dih, gak mungkinlah. Gue kan udah pacaran sama Arvan, mana mungkin gue suka sama orang lain." Elakku.

"Tapi ya, Tan, rasa itu bisa datang kapan aja. Rasa itu datangnya gak mandang siapa dia, dan dia sedang apa. Semuanya terjadi begitu saja. Dia mengalir, seperti air."

💦💦💦

Tbc.

23 Feb '18

Pura-Pura MOVE ONTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang