[12] Penasaran

984 53 5
                                    

- Masa lalu itu, biarlah menjadi sebuah memori. Memori yang membuat siapa pun untuk belajar menjadi manusia yang lebih baik dari sebelumnya. -

_________

"Jadi, kalian udah saling kenal?" Tanya dokter- eh! Kak Toni padaku. Aku diam, entah mau jujur atau tidak.

"Iya." Itu bukan suaraku, melainkan suara Guta, adik dari Kak Toni sekaligus mantan pacarku. "Kenal di mana?" tanya Kak Wena yang kini berusaha untuk duduk.

Duh! Kak Wena, ngapain nanya-nanya sih?!


"Kita satu sekolah, Kak. Satu angkatan. Satu jurusan." Jelas Guta, membuatku menepuk jidat. "Kenapa, Nad?" pertanyaan Kak Wena padaku membuatku seperti orang bodoh.

Aku menggeleng seraya berjalan ke arah sofa yang ada di kamar rawat Kak Wena.

"Kamu kenapa sih?" tanya Kak Wena lagi, aku menggeleng lagi. "Kamu stres? Mikirin apa?" kali ini Bunda ikut bicara.

Aku menggeleng lagi. Ku lihat Guta yang kini ikut menatapku. Ku isyaratkan dia untuk tak bilang pada siapa pun yang ada di ruangan ini, bahwa kita pernah berpacaran.

Namun dia menyalah artikan isyaratku, entah dia tidak mengerti atau mungkin ia memang ingin mengungkapkan fakta itu di depan Kakak dan Bundaku sendiri. "Em, Kak, sebenarnya, aku dan Tania ... " dia menjeda ucapannya seraya menatapku lagi. Aku menatap matanya dengan tatapan 'Please, jangan bilang.' Namun sepertinya tatapanku disalahartikan lagi sama Guta.

"Kenapa?" pertanyaan Kak Wena menyadarkanku dan Guta yang saling bertatapan.

"Kita pacaran, Kak."

Deg!

Udah gila ya dia?!

"Tapi udah mantan." Lanjutnya lagi. Membuatku menepuk jidat.

"Untung udah mantan ya. Coba masih pacaran, mungkin Wena bakal, batalin hubungan ini." Ucap Kak Toni bernafas lega.

◾◾◾

Malam tiba, namun kami masih setia di kamar rawat Kak Wena. Kecuali Bunda yang pamit pulang duluan.

"Kalian kok bisa pacaran?" tanya Kak Wena penasaran di sela-sela heningnya kamar rawat Kak Wena.

Oke, kali ini aku yang jawab. Biar Guta gak mengada-ngada. Aku menetralkan napasku dulu. "Awalnya aku pikir itu salah satu cara biar aku bisa move on dari Galang," ku jeda ucapanku ketika melihat Kak Wena menatapku penasaran.

"Tapi itu salah. Semakin menjauh, semakin sakit rasanya. Berusaha seribu kali pun untuk menghindar, namun semuanya nihil."

"Jadi?"

"Aku gagal move on. Waktu pacaran sama Guta aja, aku cuman bisa belajar pura-pura move on bukan move on beneran." Jawabku putus asa.

Dengan cepat ia mengelak ucapanku. "Lagian, aku udah anggap Tania kayak saudara aku sendiri juga. Jadi, setelah ini aku bakal melindungi Tania." Kata Guta yang menatapku intens.

Aku tau, dia juga sedang berpura-pura move on. Sama seperti apa yang telah aku lakukan waktu itu.

Kak Toni dan Kak Wena mengangguk, sepertinya mereka sedang berusaha untuk memahami perasaanku dan Guta.

"Tapi kalian gak kenapa-napa kan kalau kita jadi menikah?" tanya Kak Toni memastikan dengan raut wajah yang sedikit khawatir.

Ku angkat wajahku yang tertunduk lesu, lalu ku sunggingkan senyum terbaikku untuk Kak Toni, calon Kakak Iparku. "Aku gak apa-apa. Lagian aku dan Guta hanya bersahabat."

"Iya, benar." Guta membenarkanku.

◾◾◾

Pagi ini, aku dan Guta bolos sekolah. Kami berdua akan pergi ke bandara, sesuai dengan yang Kak Steven minta kemarin. Sebenarnya aku ingin membolos sendiri, namun Guta memaksa untuk ikut menemaniku.

"Kita ngapain ke sana?" tanya Guta yang duduk di kursi depan bersama Pak Rudi.

"Nemuin Kak Steven." Jawabku singkat.

Selama perjalanan, aku hanya memandang jalanan lewat jendela mobil. Sungguh mengasyikkan walau sebenarnya aku bosan.

"Tan, Steven siapa?" pertanyaan Guta tak membuatku mengalihkan pandangan dari jalanan luar.

"Orang yang pernah Kak Wena suka, tapi dia malah suka sama aku." Jawabku sedikit ketus.

Em, kenapa ya Kak Stev suka sama aku? Padahal aku sama Kak Wena aja cantikkan Kak Wena. Mengherankan!

Sesampainya kami di bandara, Pak Rudi tetap menunggu di tempat parkir. Sedangkan aku dan Guta berjalan masuk ke dalam bandara.

"Orangnya yang mana?" tanya Guta lagi. Aku mengedikkan bahu. "Entahlah, kita jalan aja dulu. Kalo nggak ketemu, kita pulang." Jawabku seenak jidat.

"Tania!" teriak seseorang dari belakangku. Aku menoleh ke arah belakang. "Itu?" tanya Guta, aku mengangguk.

Kami berjalan menghampiri Kak Steven yang juga menghampiri kami.

"Kakak jadi pergi?" tanyaku. Dia mengangguk, "Ini buat kamu." Ucapnya seraya memberikan sebuket bunga untukku. Aku mengerutkan dahiku seraya menatap bunga yang sudah berada di genggamanku.

"Aku harap kamu bisa bahagia. Dan jangan bilang ada orang yang menyakiti kamu, nanti orang itu akan tersiksa seumur hidupnya."

Pura-Pura MOVE ONTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang