[57] Kecewa dan Dendam

545 29 0
                                    

Suara Umi Dena, Ibu dari Zidan. Benar-benar mengagetkanku.

"Zidan ini udah dijodohin sama Fera."

Deg.

"Dan,"

"Maaf."

"Iya, aku janji aku bakal perjuangkan kamu. Kita bakal sama-sama berjuang demi cinta kita."

Kalimat itu, terus berputar-putar dalam pikiranku. Aku menatap Zidan, Fera, dan Umi Dena bergantian. Berharap ada sesuatu yang akan berubah.

"Em, Tania, kita bisa ngobrol berdua gak?" tanya Fera ketika mataku bertemu dengan matanya.

Aku mengangguk, lalu dia menarik tanganku ke salah satu bangku taman. Dan kami diberikan waktu berdua untuk berbincang.

"Kamu ingat aku gak?" tanyanya ketika aku baru saja duduk.

Spontan, aku langsung mengerutkan dahiku. Kenal? Mungkin iya, tapi itu baru saja.

"Kamu gak ingat ya? Em, bagaimana dengan gelang ini?" tanyanya lagi seraya menunjukkan sebuah gelang yang dibuat dari untaian tali yang berantakan.

Tunggu, gelang itu, seperti gelang yang selalu kubawa ke mana-mana.

"Rana? Kamu Rana? Teman masa kecilku?" tanyaku berulang-ulang untuk memastikan sebuah kebenaran.

Dia mengangguk, dan itu seketika membuat tubuhku membeku di tempat.

Dia, orang yang membuatku menjadi jarang mempunyai teman. Dia juga orang yang dulu pernah menyayangiku dan menyakitiku dalam satu waktu.

"Mau apa kamu di sini?"

"Aku kembali ke Jakarta karena sebentar lagi aku akan menikah dengan Zidan. Nanti kamu datang ya."

Deg.

Menikah?

Fera memang berbeda dua tahun denganku, tapi Zidan? Haruskah dia putus sekolah hanya untuk menikah dengannya?

"Kalau aku bisa, aku akan datang."

"Tak perlu memaksakan." Ucapan Zidan membuatku dan Fera menoleh ke arahnya.

Aku menatap datar keduanya.

"Buat apa kamu datang hanya untuk menyakitiku lagi. Kurang puaskah kamu menyakiti dua kali?" tanyaku pada Fera.

Fera bangkit untuk berdiri di hadapanku, "menyakitimu? Tak terbalikkah? Bukannya kamu yang menyakitiku? Kamu yang menyebabkan Arvan mati. Dan itu membuat harapanku untuk menjadi pendampingnya pupus.

Asal kamu tahu ya, sebelum aku menerima perjodohan ini, aku dan Zidan sudah sama-sama sepakat untuk menolaknya. Tapi setelah kutahu Arvan, orang yang kusukai sudah tiada, rasa balas dendam padamu berapi lagi. Dan lihat sekarang, aku menang." Jelasnya seraya tersenyum miring. Dan aku masih menatapnya datar, meski hati ini rasanya sakit.

"Bodoh, kalau kamu mencintainya hanya karena balas dendam. Kamu akan merasakan sebuah pembalasan dari Tuhan atas perbuatanmu. Tunggu saja."

Tanpa pikir panjang, aku segera pergi dari taman itu, meninggalkan mereka yang tak mempunyai hati hanya untuk sekadar memberi tahu sebuah hal kecil.

Aku berjalan sampai ke rumah tanpa setetes air mata pun yang tumpah. Dalam hati ini, hanya ada rasa sakit dan kecewa.

"Tania,"

Suara itu.

"Hey, Tania! Lihat ke belakang!"

Sepertinya aku kenal dengan suara ini.

"A-Arvan?"

"Hi, baby."

"Kamu kok bisa di sini?"

"Harusnya kamu gak tanya itu ke aku, kamu sedang berada di bawah alam sadar kamu."

"Maksud kamu?"

"Lihat itu!" Arvan menunjuk ke arah belakangku.

Terlihat seseorang yang mirip denganku tengah berbaring di sebuah kasur, ditemani dengan seseorang yang tertidur di sampingnya.

"Itu aku?"

Arvan mengangguk.

"Kenapa aku bisa di sana? Dan, siapa dia?"

Arvan mendekat ke arahku, lalu dia melingkarkan lengannya di bahuku.

"Saat kamu pulang, ada sebuah mobil yang menabrak kamu. Lalu kamu terpental dan sekarang kamu sedang mengalami koma."

Aku mengerutkan keningku, aku sungguh tak mengerti maksudnya.

"Tania sayang, jangan sering-sering terluka."

"Kenapa? Bukannya itu bagus? Jadi kita bisa sering berjumpa."

"Benar, aku juga menyukainya. Tapi dia, lihatlah!" dia menarikku mendekat ke arah seseorang yang tertidur di samping ranjangku.

"Kamu harus mengerti perasaannya juga, dia mencintaimu melebihi aku mencintaimu. Jadi, jangan kamu sia-siakan dia."

💦💦💦

Tbc..

27 Maret 2018

Pura-Pura MOVE ONTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang