[29] Fourth

717 36 1
                                    

Saat aku melepas pelukan, aku merasakan lengket di tangan kiriku. Dan ternyata tanganku berdarah, iya berdarah.


Apa! Berdarah?

Tunggu,

Tapi sedikit pun aku tak menyadarinya.

Saat kusadar, ternyata boneka yang tadi ikut terpeluk, juga terkena darahku. Alhasil setengah bagian dari boneka itu telah ter lumuri warna merah.

"Maaf, aku salah taruh pisaunya. Seharusnya itu mengarah padaku." Ucap Arvan dengan wajah polos tanpa rasa bersalah.

"Tak apa- "

◽◽◽

Ah! Sakit! Dan, di mana ini? Kenapa tiba-tiba semuanya jadi putih seperti ini?

"Tania, kamu sudah sadar?" tanya Arvan yang kini tengah menggenggam erat tanganku. Aku mengangguk, mencoba bangkit dari tidurku.

"Kok aku bisa di sini, Van?" tanyaku bingung.

"Kamu kekurangan darah."

"Lalu, siapa yang memberikanku darah?"

"Aku."

"Te-terima kasih."

"Ini tak gratis."

"Maksud kamu?"

"Kamu harus bayar."

"Berapa pun, sebutkan saja. Pasti aku bayar."

"Aku mau kamu bayar dengan cara kamu menerimaku jadi pacarmu."

Astaga, anak ini.

"Baiklah, jika itu maumu."

"Akhirnya. Dan selama berpacaran denganku, aku punya peraturan-peraturan yang harus kamu taati."

"Apa?"

Dia menghirup napas panjang, "Satu, kamu gak boleh bersentuhan dengan laki-laki lain selain aku dan keluarga laki-lakimu. Dua, aku akan jadi sopir, body guard, dan asisten pribadimu. Tiga, kamu harus meluapkan semua masalahmu padaku.

Empat, kamu harus menuruti semua kemauanku. Lima, kamu tak boleh memutuskan hubungan ini kecuali aku. Dan jika kamu melanggar, aku tak akan berbaik hati padamu." Jelasnya membuatku bergidik ngeri.

Berpacaran dengannya, aku merasa seperti bonekanya. Namun, mau bagaimana lagi? Darahnya sudah terlanjur mengalir dalam tubuhku.

"Baiklah, sekarang, biarkan aku istirahat. Kepalaku pening." Ucapku seraya merebahkan kembali ke atas bantal. Tiba-tiba dia mengecup keningku, "Cepat sembuh. Jangan bikin My Nadnad sakit."

Deg.

Woy! Kenapa tiba-tiba jantungan begini?! Duh ini orang, bisa banget bikin perasaan jadi berubah-ubah. Tadi dibikin takut, sekarang dibikin meleleh.

"Aku mau ikut tidur di sebelahmu." Ucapnya bangkit dari kursinya.

Ah sial! Kenapa ranjang ini begitu besar?

Mau tak mau aku menggeser tubuhku untuk memberikan Arvan ruang.
Aku malu, benar-benar malu. Dan kini aku menghadap ke arah selain menatap wajah Arvan. Namun Arvan malah memelukku dari belakang.

"Jangan buang muka. Nanti anak bawang makin jadi bawang."

Lah? Apaan sih, gak jelas.

Dia memutar tubuhku agar menghadap ke wajahnya. Luka yang terkena lengan Arvan, membuatnya menghentikan pergerakannya.

"Sakit?" tanyanya, aku mengangguk. "Yaudah, pelan-pelan."

Kemudian dia memelukku.

Hangat.

Dia mengerikan, namun menghangatkan. Dia membingungkan, namun membahagiakan.

"Tidurlah. Aku yang akan menemanimu sampai kamu sembuh." Ucapnya seraya mengusap lembut puncak kepalaku, dan sesekali mengecupnya.

◽◽◽

Keruyuk.. keruyuk..

Aduh, kenapa perut ini bunyi di waktu yang gak tepat sih?

"Kamu lapar?" tanyanya yang masih terpejam. Mau tak mau aku mengangguk, karena aku memang lapar.

"Tapi ini masih malam, lihatlah, masih pukul dua pagi." Ucapku. Namun dia segera bangkit. "Tak apa, untukmu, aku akan mencarikan makanan. Dan kamu mau makan apa?" tanyanya seraya memakai jaket yang tadinya ia tanggalkan.

"Apa saja. Agar kamu tak sulit untuk mencarinya." Dia menangguk lalu keluar dari kamar rawatku.

10 menit aku menunggu sendirian. Tiba-tiba pintu kamar rawatku terbuka. Cepat sekali Arvan kembali.

Eh dia bukan Arvan. Dia Kak Ferdinan.

"Kak Ferdinan?"

"Iya, ini aku, Ferdinan."

"Kakak mau apa ke sini?!" tanyaku dengan sedikit membentak.

"Aku cuman mau memastikan bahwa kamu baik-baik saja bersama pria gila itu."

"Aku baik-baik saja. Tak ada yang perlu di khawatirkan!"

"Kalau kamu baik-baik saja, kenapa kamu bisa sampai masuk rumah sakit?"

"Karena sebuah kecelakaan kecil."

Tiba-tiba dia mendekat dan menggenggam tanganku. "Tan-"

"Tania!" belum sempat dia berkata-kata, Arvan datang mengagetkan kami berdua. Sontak aku langsung melepaskan genggamannya.

"A-arvan." Lirihku.

"Lo mau ngapain ke sini?!" bentak Arvan seraya menarik kerah baju Kak Ferdinan.

"Gue cuman mau bicara sama Tania!" Kak Ferdinan balas berteriak.

"Tapi gak perlu pegang-pegang tangan cewek gue!"

"Oke-oke, gue gak akan pegang Tania. Tapi izinkan gue bicara sama dia."

Akhirnya Arvan mengangguk, dia membiarkan Kak Ferdinan bicara denganku, namun dia menatap Kak Ferdinan dengan tatapan sinisnya yang mampu membuat siapa pun bergidik ngeri.

💦💦💦

Tbc.

20 Feb '18.

Pura-Pura MOVE ONTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang