"Aku akan berusaha untuk melupakanmu, Tania. Tapi itu tak berarti aku akan mencintai Wena. Dan aku minta kamu untuk datang ke bandara besok pagi." Ucapnya dengan tatapan memohonnya.
Aku mengangguk, "Memangnya Kakak mau ke mana?" tanyaku. Namun dia hanya tersenyum. "Kak?" panggilku lagi.
"Nanti kamu juga akan tau."
◽◽◽
"Bun, Kak Wena mana?" tanyaku yang baru pulang dari sekolah, lalu mencium punggung tangan Bundaku."Dia ke kampus." Jawab Bunda lesu. "Bunda kenapa?"
Bunda menghela napas kasar, "Setelah kejadian kemarin, Wena belum makan sampai sekarang."
Tiba-tiba telepon rumah berdering, membuat Bunda dengan sigap langsung mengangkat telepon. "Halo." Bunda membuka percakapan. Sedangkan aku hanya berdiri di samping Bunda, menunggu sesi bertanyaku.
"Apa?! Di mana dia sekarang?" wajah Bunda memucat. Aku panik, namun aku tidak tau harus berbuat apa.
"Baiklah. Terima kasih." Ucap Bunda lalu menutup telepon. Kemudian Bunda berlari ke kamarnya. Sebelum Bunda memasuki kamarnya, "Tania, bilang Pak Rudi untuk mempersiapkan mobil." Ucap Bunda. Aku mematuhi perintah Bunda, lalu aku berlari ke arah Pak Rudi yang sedang bersantai bersama Pak Anton.
"Pak, tolong siapkan mobil. Disuruh Bunda." Dengan sigap Pak Rudi bangkit dari duduknya, mengangguk, lalu berlari ke arah mobil milik Bunda.
Tak lama setelah itu, Bunda keluar dengan wajah yang masih memucat. "Ada apa, Bun?" tanyaku penasaran. "Ikut Bunda dulu. Tanya-tanyanya nanti aja di mobil." Setelah itu Pak Rudi membukakan pintu mobil untuk Bunda.
"Pak, ke rumah sakit milikq keluarga Arman. Sekarang! Cepetan ya Pak!" ucap Bunda setengah berteriak. Pak Rudi mengangguk lalu menjalankan mobil menuju rumah sakit milik keluargaku.
"Memangnya ada apa, Bunda? Kenapa Bunda begitu panik?" tanyaku. Bunda yang sepertinya sudah bisa mengatur napas, kini berbicara dengan lebih tenang. "Wena."
"Ada apa dengan Kak Wena?"
"Dia masuk rumah sakit."
Deg!
Tak butuh waktu lama untuk sampai ke sana, karena kami sedang beruntung, jalanan Ibukota sedang tidak macet.
Setelah bertanya letak kamar Kak Wena, Bunda menarik lenganku. Membuat lenganku agak memerah.
"Wena!" teriak Bunda setelah membuka pintu.
"Bunda?" panggil Kak Wena yang juga memucat.
Kenapa hari ini semua wajah keluargaku jadi pucat? Apa aku juga? Haha, nggak mungkin! Lagian aku gak kenapa-kenapa.
"Kamu kenapa bisa sampai masuk rumah sakit begini?" tanya Bunda khawatir.
"Mag yang dimiliki Wena, kambuh." Itu bukan suara Kak Wena, melainkan suara dokter yang berdiri di sebelah kanan kasur Kak Wena.
"Makanya, kalo Bunda bilangin itu nurut. Bunda gak mau kamu kenapa-kenapa." Ucap Bunda lagi. "Lagian gara-gara dia tuh!" sinis Kak Wena padaku.
Aku yang mendapat sinisan manis darinyapun langsung refleks menundukkan kepalaku. "Kak, maafin aku. Aku udah tolak Kak Steven dan dia juga udah aku pecat." Ucapku penuh rasa bersalah.
"Yaudahlah. Lagian itu juga udah berlalu."
"Wena, aku pergi dulu ya." Bisik dokter itu pada Kak Wena, namun bisikannya masih dapat kudengar. Kak Wena menarik lengan dokter tadi. "Sebentar, jangan ke mana-mana,"
"Bun, kenalkan, ini Toni, dia melamar aku barusan." Ucap Kak Wena penuh semangat. Membuatku dan Bunda melongo tak percaya. Kak Wena menerima lamaran orang yang baru saja ia kenal?
"Kamu? Di lamar?" tanya Bunda tak yakin.
"Setelah patah hati?" lanjutku lagi. Dia mengangguk, "Ternyata dia suka sama aku udah dari SMP. Tapi aku gak tau. Dan aku gak mau tolak dia karena aku tau rasanya sakit hati karena orang yang aku suka malah suka sama orang lain. Lagian, dia juga sahabat aku waktu itu, jadi sampai sekarangpun untuk langsung menerimanya, aku sudah cukup yakin." Ucap Kak Wena berusaha membuat Bunda setuju dengan keputusannya.
Bunda mengangguk, "Baiklah, tapi kamu juga harus bilang pada Ayahmu. Dan kamu, sering-seringlah main ke rumah untuk mengambil hati Ayahnya Wena." Ucap Bunda seraya menunjuk dokter yang berada di samping Kak Wena.
"Iya tante. Ah iya, saya belum memperkenalkan diri. Nama saya Toni." Ucapnya memperkenalkan diri seraya bersalaman dengan Bunda dan denganku juga.
"Salam kenal, Kak. Semoga kalian bisa cepat menikah." Ucapku penuh semangat. Dan kini kulihat tangan Kak Wena mengusap pelan punggung tanganku, ia tersenyum hangat padaku.
Ah senangnya, semoga saja mereka bahagia.
Tiba-tiba pintu kamar Kak Wena terbuka, menampakkan seseorang yang tak asing bagiku.
"Kakak-"
KAMU SEDANG MEMBACA
Pura-Pura MOVE ON
Novela Juvenil[CERITA MASIH LENGKAP] Bukan cerita playgirl, tapi cuman cerita cewek yang udah dijodohin tapi masih pacaran sama orang lain. Abis pacaran terus putus, begitu aja terus. Udah pacaran lagi tapi jarang banget bener-bener move on dari beberapa mantanny...