Rasanya, tenggorokanku kering. Kering sekali, sampai untuk bersuara pun sulit rasanya.
Aku bangkit dari dudukku. Kemudian berjalan keluar dari rumah Kak Ferdinan tanpa berbicara apa pun.
"Tania!" teriaknya dari dalam rumah. Namun aku tak memedulikannya, aku malah berlari menjauh dari rumahnya. Beruntungnya aku sedang tak membawa apa-apa kecuali ponselku.
Aku terus berlari sampai Kak Ferdinan tak terlihat lagi di belakangku.
Lalu aku melihat sebuah pohon besar yang berada di pinggir jalan. Ku rasa, itu tempat yang bagus untuk menangis. Aku duduk di sisi pohon yang menghadap ke samping jalan.
Aku gak menyangka, hubungan yang sudah terjalin 7 bulan lamanya, kandas begitu saja. Ini gila!
Untuk kedua kalinya aku menangis bagai orang gila. Aku ingin meminta Juan menjemputku, namun naas, ponselku malah mati karena habis baterai. Tangisku makin menjadi.
Sampai aku merasa ada tepukan ringan di bahuku. Aku mengangkat kepalaku yang tadi kutelungkupkan ke dalam dekapanku.
"Kenapa menangis?" tanya laki-laki yang sepertinya sebaya denganku. Aku menggeleng, mana mungkin aku bercerita pada orang yang tidak kukenal.
"Wajah dia gak asing buat saya." Seru lelaki yang satunya, yang kutebak ia adalah teman dari orang yang tadi menepuk-nepuk bahuku.
"Lo kenal dia, Ban?" tanyanya.
"Dia orang yang pernah saya ceritakan ke kamu. Dia orang yang menginjak Wilo." Ucapnya seraya menunjukkan bola kasti ke hadapan temannya.
"Oh, ternyata dia masih teman satu sekolah kita." Lelaki itu ber-oh ria.
"Kalian ngapain di sini?" tanyaku yang masih sesenggukan.
"Lah? Diusir nih?" tanyanya bingung.
Dia mendekat padaku, "Gue gak mau macam-macam sama lo. Tapi gue mau kenalan. Soalnya waktu itu gue pernah liat cewek nangis di pinggir jalan kayak lo begini."
"Nama gue Tania."
"Oke, oke. Nama gue Arvan, dan dia Arbani, sahabat gue." Dia memperkenalkan diri seraya menunjuk temannya yang berdiri.
"Yaudah, kita pergi aja yuk, Van! Dari pada nanti di sangka orang kita yang bikin dia menangis kayak orang gila gitu." Seru Arbani membuat air mataku yang sedari tadi mengalir tiba-tiba berhenti begitu saja.
Aku bangkit dengan wajah yang kuyakini sekarang telah merah padam karena menahan malu serta marah.
Aku menatapnya tajam, "Lo tuh ya! Kalo gak suka tinggal bilang! Jangan pake ngatain gue orang gila! Udah jangkung, botak, sok formal, jijik gue sama lo!" aku balas memaki-maki Arbani yang wajahnya datar-datar menyebalkan.
Lalu dia mendekat ke arahku, masih dengan tatapan datarnya. "Lo mau apa?!" teriakku seraya mundur perlahan hingga akhirnya aku menyadari aku sudah terpojok.
"Saya? Mau apa? Saya mau kamu!" ucapnya seraya mendekatkan wajahnya ke wajahku.
Tiba-tiba tubuhnya menjauh karena ditarik Arvan, "Bani, sadar! Gue tau lo kesel sama Tania. Tapi tahan emosi dikit, ini jalan umum, bukan tempat kita!" setelah mendengar perkataan Arvan, dia menjauh dariku.
"Sorry. Saya lupa."
Satu hal yang aneh dari mereka berdua, eh! Bukan merekanya tapi perkataannya. Mereka aneh! Apa coba maksud dari 'tempat kita'? Terus juga di sekolah, cuman Arbani yang bicara pake kata 'saya' dalam penyebutan dirinya.
Sekali lagi,
Mereka ...
Aneh!
💦💦💦
Tbc
15 Feb '18
KAMU SEDANG MEMBACA
Pura-Pura MOVE ON
Teen Fiction[CERITA MASIH LENGKAP] Bukan cerita playgirl, tapi cuman cerita cewek yang udah dijodohin tapi masih pacaran sama orang lain. Abis pacaran terus putus, begitu aja terus. Udah pacaran lagi tapi jarang banget bener-bener move on dari beberapa mantanny...