[8] My Cousin, My Hero.

1K 61 4
                                    

Aku masih menangis. Dan kalian tau? Aku sedang menangis di pinggir jalan. Sekali lagi, di pinggir jalan! Sepertinya untuk hari ini, urat maluku rasanya sudah putus karena aku tidak peduli sama sekali akan penilaian orang lain yang aku jamin pasti mengiraku gila atau sejenisnya. Tapi memang benar kalau aku sedang gila.

Terlintas di pikiranku untuk meminta dijemput Juan, sepupuku.

"Halo, Juan. Jemput aku, sekarang!" ucapku dengan suara parau.

"Lah? Nangis? Kenapa? Tumben amat minta jemput."

"Berisik ah! Jemput sekarang, aku di halte bus samping sekolah."

Tanpa butuh waktu lama, Juan datang dengan motor sportnya. Dan tanpa basa-basi aku langsung naik ke atas motornya.

Ia melepas helm full facenya dan sedikit memutar tubuhnya agar bisa melihatku, "Kenapa nangis? Siapa yang bikin nangis? Biar aku hajar!" ucapnya sedikit geram.

"Gak ada. Udah anterin pulang aja!" ucapku yang langsung menyenderkan kepalaku di punggungnya.

Juan memakai lagi helmnya. "Pegangan. Nanti jatuh!" ucapnya membuatku langsung memeluk pinggangnya erat dan meneruskan tangisanku yang belum tuntas.

Juan, dia adalah anak dari Bibiku. Ia terlahir dua tahun lebih tua dariku, namun ia tak pernah mau ku panggil dengan embel-embel 'kakak', katanya jadi kelihatan lebih tua. Dan sekarang dia kelas 12, dia bersekolah di SMA swasta terkenal di kotaku.

Ketika sampai, aku memutuskan untuk langsung masuk ke kamar. "Kamu kenapa nangis? Cerita sama aku. Masa kamu main rahasia-rahasiaan sama sepupu sendiri?" tanyanya dari belakangku.

Ia terus mengejarku sampai ke kamar, "Nad, cerita!" kini suaranya membuatku terdiam. Kalau dia berbicara seperti itu, tandanya ia tak mau ucapannya di bantah.

"Masuk." Ucapku lalu menutup pintu kamar.

"Kenapa?"

"Aku patah hati."

"Sama siapa?"

"Abas."

"Anak basket?" aku mengangguk. "Siapa namanya?"

"Galang. Dia kaptennya." Lirihku.

"Kamu diapain?" aku menggeleng kepala sebagai jawaban dari pertanyaannya. Kulihat raut wajahnya yang tampak kebingungan, "terus kenapa kamu nangis?"

"Aku pikir dia setia, ternyata dia player." Lirihku lagi.

"Terus kamu mau dia kuhajar?" tanya Juan yang sepertinya ikut kesal dengan apa yang aku katakan. Karena itu terlihat jelas ditangannya yang mengepal.

"Jangan, Juan! Jangan lakukan itu padanya." Rengekku padanya membuat ia menghela napas kasar.

"Baiklah. Katakan padaku kalau dia menyakitimu lagi." Katanya seraya menarikku dalam dekapannya.

Dulu sekali, aku pernah menyukai Juan hanya karena parasnya yang tampan. Tapi kini aku mengerti, bahwa aku tidak ditakdirkan untuk bersamanya dalam artinya menjadi pasangan hidupnya.

◾◾◾

"Eh, ke sana yuk!" ajak Vika yang menarik lenganku dan Delila menuju suatu kerumunan entah itu kerumunan apa.

Namun dari jarak aku berdiri menuju kerumunan itu aku dapat mendengar dengan jelas suara orang berkelahi. Beruntungnya sekarang sudah jam pulang sekolah.

"Itu yang berantem sama Galang ganteng banget ih!"

"Iya, ganteng pake banget!"

Itu kata-kata yang dapat ku dengar dari bisikan gadis-gadis yang menonton perkelahian itu.

Eh, nanti dulu, tadi dia bilang apa? Galang? Ganteng banget? Apa maksudnya? Duh, firasatku gak enak banget nih. Semoga firasatku itu gak benar.

Vika mencoba membantuku membelah kerumunan yang bersorak ria mendukung jagoannya.

Dan sekarang, aku benar-benar melihat dengan jelas perkelahian yang ada di depanku.

Juan?

"JUAN! STOP!" teriakku yang kini berurai air mata ketika melihat sepupuku kini wajahnya penuh dengan lebam.

Berbeda dengan kondisi Galang yang lebih mengenaskan dan tergeletak begitu saja di aspal jalan.

"Ayo pergi!" seketika dia berhenti dan langsung mengamit lenganku, ia mengantarku pulang. Membuat para gadis di belakangku menjerit terkejut.

Aku berhenti, membuatnya ikut berhenti juga. "Ada apa?" tanyanya memandangku dengan wajahnya yang penuh lebam.

"Kamu kenapa berantem sama Galang?"

Dia menatapku serius, "aku mau kasih dia pelajaran, biar dia gak jadi player lagi. Dan satu lagi, dia harus tau kalo dia udah menyakiti adik dari Juan Ramdana, maka dari itu dia harus menerima hukumannya!"

Aku mengangguk-angguk, terharu mendengar ucapannya, aku langsung memeluknya, "Makasih ya Juan. Tapi caranya nggak harus dengan kekerasan juga. Meski begitu, aku tetap sayang kamu." Ucapku yang masih dalam pelukannya.

"Aku juga."

Pura-Pura MOVE ONTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang