[15] Dua Juan

901 47 0
                                    

Aku menepuk jidatku ketika mendengar kalimat-kalimat kagum untuk Delila, Juan ceritakan padaku.

"Kenapa sih, Tan?" aku menggeleng. Kasih tau gak ya, kalo misalkan Delila itu sukanya sama Guta. Bukan sama Juan!

Aku cuman takut Juan patah hati gara-gara dia tau Delila gak suka sama dia.

"Memang gak ada cewek lain apa?" tanyaku padaku Juan. Dia mengedikkan bahu, "Dari pertama aku liat dia. Aku tertarik."

Huft! Juan.. Juan.

"Emang temen sekolah kamu gak ada yang menarik apa?" tanyaku lagi. Dia menggeleng, "Semuanya centil. Keganjenan semua sama aku."

Ck, sok ganteng banget sih sepupuku yang satu ini. Memang ganteng sih.

"Terus gimana?" tanyaku pasrah. "Kamu harus bantu aku buat dekat sama dia."

"Tapi aku gak terima risiko kalo kamu patah hati." Ucapku rada ketus.

"Maksudnya?"

"Tania!" teriak Vika dari tangga. Aku berlari menghampiri dua temanku.

"Udah mau pulang?" keduanya mengangguk.

"Mana Om Sandi, sama Tante Sarah?" tanya Delila sopan.

"Ada di kamar. Sebentar, gue panggil dulu." Ucapku lalu berlari ke kamar Ayah dan Bunda yang letaknya tak jauh dari tempat dua temanku berdiri.

Lalu aku datang pada Vika dan Delila dengan membawa Ayah serta Bundaku.

"Pamit dulu Om, Tante. Kita berdua mau pulang." Ucap Delila sopan. Orang tuaku mengangguk, "Tapi masih pagi, Del, kenapa gak nanti siangan aja?" tanya Bunda.

"Makasih, Tante. Tapi hari ini Vika ada acara, dan aku juga harus ngerjain pr. Sebelumnya makasih banget Tante, Om." Ucap Delila lagi.

"Iya Om, Tante. Makasih banyak ya. Itu, sopir keluarga aku udah jemput. Aku pulang dulu ya." Pamit Vika seraya mengecup punggung tangan Ayah dan Bunda.

Vika berjalan keluar pagar, ditemani aku, Ayah, Bunda, dan Juan.

"Lah? Kamu belum dijemput, Del?" tanya Ayah.

"Masih dalam perjalanan, Om." Ayahku mengangguk. Tiba-tiba ponsel Delila berdering tanda telepon masuk.

"Halo, Pak?"

"Nggh, kok bisa Pak? Masih jauh dari rumah Tania?"

Delila kenapa ya?

"Yaudah, bawa ke bengkel aja. Nanti aku naik taksi atau ojek aja."

"Iya, hati-hati ya Pak."

Delila memasukkan ponselnya usai mengangkat telepon, "Ada apa, Del?" tanyaku.

"Mobil gue mogok, Tan."

"Yaudah, gue antar aja." Ucap Juan tiba-tiba. "Eh, gak usah." Sepertinya Juan tak mendengarkan ucapan Delila.

Juan berlari ke dalam rumah, dan kembali dengan Jaket hoodie yang ia kenakan, serta kunci motor yang ia genggam erat di tangannya.

"Ayo! Gak terima penolakan!" seru Juan yang tengah mengambil motornya.

"Ck, Juan!"

"Tan, gak apa-apa nih?" tanya Delila pelan. Aku mengangguk, "Naik aja. Tapi jangan dekat-dekat sama dia."

"Om, Tante, Juan izin mau antar temennya Tania ya. Nanti Juan menyusul ke resto yang Tante bilang." Ucap Juan yang diangguk Ayah dan Bunda.

"Hati-hati ya."

Setelah motor Juan keluar dari pekarangan rumahku, Bunda mendekatiku, "Tania, mandi sana. Abis itu, pake baju yang rapi." Perintah Bunda kuangguki.

Senang sih akan bertemu dengan calon keluarga baru. Jadi, aku harus berpakaian serapi mungkin.

Setelah selesai, aku, Ayah dan Bunda bersiap-siap menuju restoran keluarga besan, kata Ayah sih. Eh, tapi tunggu deh, setauku, Guta bukan keluarga yang tergolong amat kaya. Jadi, Guta gak mungkin punya resto. Lah, terus punya siapa?

Mobilku dan mobil Kak Toni berhenti di tempat parkir yang resto itu sediakan.

Aku berjalan menghampiri Kak Wena yang tengah bermesraan dengan Kak Toni. Ck, Kak Wena.

"Kak, kita bakal ketemu keluarganya Kak Toni ya?" tanyaku bingung.

Kak Wena menggeleng, "Bukan."

"Terus?"

"Nanti juga kamu tau sendiri."

"Hai." Tiba-tiba Juan datang, lalu merangkulku.

"Kita mau ketemu siapa sih?" tanya Juan tak kalah bingung. Aku yang juga tak tau hanya mengedikkan bahu menjawab pertanyaan Juan.

"Hai, Jeng." Sapa Bunda pada perempuan paruh baya yang tengah duduk bersama dua gadis remaja dan satu laki-laki yang aku tebak, dia suaminya.

"Hai, mari duduk."

"Yang mana anakmu yang kamu maksud, San?" tanya lelaki paruh baya yang duduk di depan Ayah.

"Ini, putriku, dia masih kelas 1 SMA." Ucap Ayah memperkenalkanku pada pria paruh baya tadi.

"Tania, Om."

"Ardana."

Kami berkenalan. Dan kini ku tau, teman Ayah di depanku ini, adalah Om Ardana.

"Putraku baru saja masuk kuliah. Dan sekarang dia sangat sibuk dengan tugas-tugasnya." Ucap Om Ardana tertawa kecil.

Ku lihat, wajah istri Om Ardana terlihat kecewa ketika membuka ponselnya.

"Ada apa Mah?" tanya Om Ardana.

"Juan gak bisa datang."

Hah? Juan?

💦💦💦

Tbc

Jakarta, 4 Februari 2018.
-Hnnywdwt

Pura-Pura MOVE ONTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang