[30] Dia bukan dia (Dua Kepribadian)

701 38 7
                                    

- Jangan menyakitiku, jika kamu tak ingin merasakan sakitnya juga. -

_____________

Ternyata Kak Ferdinan menemuiku untuk meminta maaf, lalu tiba-tiba dia mendekat ke telingaku, dia berbisik, "Maafin aku, gara-gara ini aku jadi sering di teror sama saudaranya si psycho."

"Aku udah maafin Kakak kok. Kakak tenang aja."

Tiba-tiba Arvan mendekat, "Udah dimaafin kan lo? Pergi sana!" Arvan menggeret Kak Ferdinan dengan paksa agar keluar dari kamar rawatku.

Aku hanya tersenyum miris melihat Arvan memperlakukan orang lain seperti itu, apalagi dia orang yang dulu ikut serta untuk mewarnai hidupku sebelum akhirnya dia datang.

"Van," panggilku. Namun dia tak mengindahkan panggilanku, dia malah mendekat ke arahku dengan pisau lipat di tangannya.

"Kamu udah langgar peraturan aku ya, sayang. Padahal kita pacaran belum ada 24 jam." Ucapnya, dan dia semakin mendekat.

"Van, maafin aku."

"Aku maafin kamu kok."

"Yaudah kalo begitu, taruh pisaunya. Jangan dimainin, nanti kamu luka." Ucapku panik.

"Aku gak bakal melukai diri aku sendiri. Ini malah buat kamu."

"Maksud kamu?"

"Beri aku tempat." Pintanya, membuatku bergeser. Lalu dia memelukku. "Kamu cantik."

Lalu dia menggores pelipisku dengan pisaunya itu. "Sakit, Van."

"Sama kayak hati aku. Kalau aku sakit, kamu juga harus sakit." Ucapannya membuatku merinding.

Tiba-tiba dia menciumku, tepat di mana tadi ia menggoreskan luka di pelipisku.

Perih.

"Van, kamu ngapain?"

"Aku tahan darah kamu biar gak ngalir ke mana-mana." Jawabnya santai.

"Perih, Van."

"Nanti juga sembuh kok."

"Kepalaku pusing lagi, Van."

"Ah iya, kamu lapar ya. Aku sampai lupa, tadi aku belikan kamu ketoprak."

"Tapi aku gak nafsu."

"Kamu harus makan!" ucapnya sedikit membentak, mau tak mau aku memakan ketoprak yang Arvan belikan dengan malas.

"Sini aku suapi, biar makanannya gak diacak-acak." Ujarnya seraya menarik ketoprak yang tadi kupegang.

Tak lama  kemudian, ketoprak yang kumakan sudah tandas.

"Jangan bikin aku sakit kalau kamu gak mau ikut ngerasainnya." Ucapnya setelah ikut kembali merebahkan tubuhnya di sampingku.

"Iya, maaf."

Dia memelukku namun kali ini lebih erat, "Sebenarnya aku gak mau bikin kamu sakit. Yang tadi itu bukan aku."

"Maksud kamu? Dua jiwa? Dua kepribadian?" tanyaku heran. Dia mengangguk.

◾◾◾

"Tania! Kamu gak apa-apa?" teriak Bunda yang baru saja memasuki kamar rawatku.

"I'm fine, Bun. Cuma kecelakaan kecil."

"Oh syukurlah! Kami sangat mengkhawatirkanmu, Tania." Ucap Ayah yang mendekat lalu memelukku.

"Kamu nih, Bunda sampai kayak orang gila gara-gara kamu." Ketus Kak Wena yang sebenarnya khawatir padaku. "Ah, Bunda ini." Ucapku seraya terkekeh.

"Dan kamu, Arvan, kenapa bisa ada di sini?" tanya Ayah bingung.

"Kemarin saya gak sengaja lihat Tania terluka. Ya, langsung saya bawa ke rumah sakit. Dan menunggunya sampai ada keluarga yang menemaninya." Jelas Arvan yang ditambah dengan bumbu kebohongan.

"Ya sudah, kan kami sudah datang, kamu boleh pulang." Ucap Ayah tanpa sedikit pun menatap ke arah Arvan. Kulirik Arvan tengah tersenyum miring ke arahku.

Oh, gawat! Itu bukan Arvan!

"Arvan! Tunggu!" dia menghentikan langkahnya, tepat sebelum membuka pintu.

"Yah, biarkan dia di sini. Aku mau terserah dia mau pulang kapan, karena aku tak enak dengannya. Dia yang sudah menungguku semalaman ini." Pintaku memohon pada Ayah.

"Baiklah."

💦💦💦

Tbc.

20 Feb '18.

Pura-Pura MOVE ONTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang