[34] Dia tau?

635 36 3
                                    

Apa aku benar-benar mulai menyukai Arbani? Tapi, bagaimana dengan Arvan? Setega itukah aku pada diriku sendiri? Sampai rela menyukai orang lain, padahal aku tau risiko yang akan aku terima sangat menyakitkan.

Dua bulan berlalu, genap lima bulan sudah hubunganku dengan Arvan. Dan luka di tubuhku semakin banyak. Mulai dari perut, betis, lengan, dan masih banyak lagi. Semuanya itu hanya sebatas goresan, namun menyakitkan.

Aku berjalan dengan langkah gontai menuju kelas karena luka di betis kananku benar-benar perih, sebab kemarin aku melakukan kesalahan yang membuat Arvan murka.
Sialnya, hari ini ada pelajaran olahraga. Dan betisku pasti akan tampak. Habislah sudah.

Sebelum jam olahraga, kelasku diisi dua jam mata pelajaran dengan pelajaran Umi Fatim.

"Tan, kita bakal kedatangan anak baru." Ucap Aklea yang mengikuti desas-desus seperti anak perempuan yang lain. Aku mengacuhkannya, karena yang kupikirkan sekarang adalah perihnya lukaku.

Tiba saatnya bel masuk berbunyi, dan benar saja, Umi Fatim masuk dengan anak baru yang mengekorinya.

"Perkenalkan ini teman baru kalian." Ucap Umi Fatim.

"Pagi semuanya, nama saya Zidan, saya pindahan dari Palembang namun saya lahir di Jakarta. Salam kenal dan mohon bantuannya." Ucapnya lalu duduk di samping Arvan, karena Rama, teman sebangku Arvan sedang tak masuk.

"Hai." Zidan si anak baru itu mencoba menyapa kami -Aku, Arvan dan Aklea- namun yang membalas sapaannya hanya Aklea, karena aku dan Arvan saling diam.

Sampai akhirnya jam yang tak aku tunggu, tiba juga. Teman-teman sekelasku menghambur menuju kamar mandi untuk berganti pakaian.

Aku berganti baju olahragaku. Dan sialnya celana olahragaku hanya 7 senti di bawah lutut.

Namun beruntung karena tak ada satu murid perempuan pun yang menyadari lukaku.

Akhirnya aku bisa berolahraga dengan tenang. Tetapi, kulihat si anak baru itu tidak ikut pelajaran olahraga lantaran ia tak memiliki seragam olahraga. Namun, dia menatapku intens, ada apa ya? Ah sudahlah. Abaikan saja, itu tak penting.

Selesai jam olahraga, aku memilih untuk duduk di depan kelasku seperti gembel. "Hei." Panggil seseorang, aku menoleh ke arahnya.

"Zidan?"

"Iya, nama lo?" tanyanya. "Gue Tania."

"Nih buat lo." Ucapnya seraya memberikan sebotol air mineral dan kain kasa serta perekatnya. Eh, kain kasa? Artinya, tadi itu dia memperhatikan lukaku? Gawat.

"Lo liat?" tanyaku yang langsung berdiri karena panik. Dia mengangguk, membuatku semakin panik. Dari arah berlawanan, tak sengaja kulihat Arvan yang tengah tersenyum miring padaku.

Mati aku!

Aku bergegas masuk ke dalam kelas, meninggalkan Zidan yang kebingungan.

◾◾◾

Aku pergi ke UKS, tepat setelah guru keluar dari kelasku. Lalu aku menaruh benda-benda UKS yang tadi Zidan pinjamkan padaku.

Tiba-tiba pintu UKS terbuka lebar, membuatku sontak terkejut. Dan ternyata, dia Arvan.

"A-arvan, kamu ngapain ke sini?" tanyaku gugup.

"Kamu yang ngapain ke sini?" dia bertanya balik.

Arvan berjalan mendekat ke arahku dengan senyuman- oh tidak! Dia bukan Arvan, melainkan Azrav.

"Menjauhlah dariku, Azrav!" Teriakku membuatnya semakin mendekat.

"Enak ya, dekat sama si anak baru itu." Ucapnya seraya menggunakan pisau lipat yang selalu ia bawa ke mana pun.

Aku melongo tak percaya, jadi dia melihat semuanya. Tapi, kalau melihat semuanya, seharusnya dia tau, kalau Zaidan hanya ingin membantuku.

"Kenapa? Kamu kaget karena kamu ketahuan selingkuh?"

"A-aku gak selingkuh, Rav. Zidan hanya membantuku." Jawabku gugup karena kini pisaunya sudah siap untuk menggores tubuhku lagi.

Kemudian Azrav mengarahkan pisaunya ke arah pipiku. Bersamaan dengan suara pintu yang terbuka secara paksa, pisau lipat Arvan malah melukai pipi kiriku.

"STOP!"

💦💦💦

Tbc.

23 Feb '18.

Pura-Pura MOVE ONTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang