5. Tumpangan Istimewa

2K 193 89
                                    

COWOK itu mematut diri di depan cermin, mengamati pantulan bayangannya dengan seragam putih abu-abu yang membalut rapi tubuhnya. Seragam yang akan ia kenakan di sekolah barunya. SMA Bina Karisma.

Kenzie tidak mengira bahwa dari sekian banyak SMA di kota ini, justru SMA Bina Karisma yang menjadi tempat di mana cewek aneh itu juga bersekolah. Cewek aneh bernama Rissa. Rissa yang tak lain adalah benar-benar putrinya Tante Anna, yang kata babanya bisa jadi teman baik Kenzie, yang kata babanya ... so beautiful itu.

Huh, so beautiful apanya? Judes baru iya.

Sebenarnya kalau dipikir-pikir lagi, kenapa juga Kenzie masih harus senewen sama cewek itu. Ayolah, ia cuma terlibat masalah dengannya karena rebutan bakso, bukan rebutan warisan, apalagi rebutan kursi ketua DPR. Jadi, bukankah ini sangat tidak masuk akal dan cuma buang-buang waktu kalau sepagi-pagi ini Kenzie malah memikirkan cewek aneh itu?

Kenzie menggelengkan kepalanya kuat-kuat, beringsut dari cermin, lalu meraih jaket dan tas sekolahnya. Sudahlah, lebih baik ia segera berangkat ke sekolah sekarang.

Di ruang makan, Kenzie melihat babanya sudah duduk menghadap meja makan, sementara arah tatapan pria berusia empat puluh tahunan itu tetap berkutat pada layar tablet yang tengah dipegangnya.

"Shobahul khoir, Baba!" sapa Kenzie seraya menggeser kursi kosong di seberang papanya.

"Shobahun nuur, yaa Ibni!" sahut Adib tanpa mengalihkan konsentrasinya dari layar tablet.

Kenzie menghela napas pelan. Begitulah babanya kalau sudah setia pada pekerjaan. Terkadang Kenzie mesti rela diduakan. Coba saja mamanya masih ada, pasti ada yang lebih memerhatikan baba. Kasihan babanya harus ditinggal sang istri di usia pernikahan mereka yang baru berjalan dua tahun.

Seringkali Kenzie berpikir, kenapa Tuhan begitu cepat memanggil mamanya? Kenapa di saat ia terlahir ke dunia justru menjadi saat terakhir mamanya mengembuskan napas?

Ini seperti tidak adil, sementara anak-anak lain bisa saling berbagi kasih sayang dengan sosok ibu yang menyaksikan mereka hingga tumbuh dewasa. Sedangkan Kenzie sepertinya hanya bisa pasrah dengan kenyataan bahwa dirinya tidak seberuntung anak-anak itu.

Namun, suatu ketika ia mulai menyadari kalau sebenarnya hidupnya masih bisa disebut beruntung. Setidaknya ia masih punya babanya. Babanya bukan saja bertindak sebagai ayah, tetapi juga mampu mencukupi kasih sayang seorang ibu yang selalu dirindukan Kenzie.

Dan untuk mamanya, Kenzie yakin bahwa Tuhan telah memilihkan tempat yang lebih indah untuk beliau. Kenzie hanya harus percaya kalau mamanya sudah bahagia di sana.
Selamanya tidak ada wanita yang lebih berjasa demi memperjuangkan kelahiran Kenzie hingga nyawa pun rela dipertaruhkan selain mamanya. Kenzie berjanji akan menjadi orang yang selalu bahagia agar mamanya juga tidak bersedih di atas sana.

Cowok yang kemudian mendapat sebuah ide itu berjalan ke samping babanya, lalu mengambil alih benda pipih berlayar sentuh yang sedari tadi sudah cukup menyita waktu sarapan pria berjas kerja rapi itu. "Yang ini dilanjutin nanti aja. Sekarang Bapa cuma boleh sarapan," tegas Kenzie sambil menyiapkan setangkup roti dengan selai kacang kesukaan babanya.

Adib tidak marah, walaupun keseriusannya yang tengah mengecek beberapa data perusahaan jadi terganggu karena tindakan Kenzie. Dan Adib memang tidak bisa marah dalam hal apa pun kalau pilihannya sudah menyangkut putra semata wayangnya itu.

Adib tersenyum. Seperti biasa, ia tidak bisa membantah dan hanya duduk manis menunggu putranya itu menyajikan sarapan di atas piring.

Bagaimana Adib tidak akan tersentuh setiap kali melihat Kenzie yang begitu mirip dengan almarhumah istrinya. Semasa istrinya masih hidup, hal kecil semacam ini pun tak luput dikerjakannya setiap pagi. Istrinya tidak akan membiarkan urusan pekerjaan sang suami membuatnya cemburu ketika berada di meja makan.

MemoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang