PUKUL dua dini hari Bi Wati tergopoh-gopoh membuka pintu depan rumah. Seketika ia dikejutkan oleh kepulangan Adib.
Pria itu hanya membalas seperlunya sapaan Bi Wati yang tampak semringah menyambut kepulangannya. Tawaran dibikinkan minuman atau sesuatu oleh Bi Wati ditolak Adib. Rupa-rupanya ia sudah tidak sabar ingin langsung menemui Kenzie, sebab pertama kali yang ditanyakannya kepada Bi Wati sejak ia sampai di rumah adalah tentang keadaan putranya itu.
"Mas Kenzie baik-baik saja, Pak. Sekarang mungkin sedang tidur di kamar. Apa perlu saya bangunkan dan bilang kalau Bapak sudah pulang?"
"Tidak usah, Bi. Biar saya yang langsung ke kamarnya saja. Tolong, Bi Wati bawa masuk barang-barang saya di depan."
Sesuai perintah, Bi Wati segera membantu membereskan koper serta semua barang bawaan Adib lainnya yang tengah dikeluarkan Pak Salim dari dalam bagasi mobil.
Adib mengabaikan rasa lelahnya sekalipun usai menempuh penerbangan sekitar kurang lebih delapan jam dari Taipei demi menuangkan kerinduannya kepada satu-satunya putra yang sangat ia sayangi. Demi bisa pulang hari ini, Adib rela meninggalkan pekerjaannya di Taiwan.
Usai kontaknya dengan Shafira siang itu, Adib segera mengajukan negosiasi ulang dengan pihak Wang Hao Cruise. Mereka memang menginginkan Adib yang secara langsung menghandel megaproyek kerja sama tersebut. Adib sepertinya harus bersiap menghadapi semua konsekuensinya karena ia sendiri yang terpaksa harus menyalahi agenda.
Pintu kamar Kenzie yang tidak terkunci dibuka Adib secara perlahan. Suasana kamar tampak terang, sebab lampunya masih dibiarkan menyala. Tepat di depan meja belajar yang terletak dekat jendela itu rupa-rupanya Kenzie tertidur dengan posisi duduk dan kepala menelungkup.
Adib melangkah ke tempat putranya. Kenzie pasti ketiduran saat mengerjakan tugas sekolahnya. Tidak tega membangunkannya, hati-hati Adib hanya mengambil pulpen digenggam tangan Kenzie dan merapikan buku-buku yang berserakan di meja. Ketika Adib juga hendak menutup laptop, tiba-tiba perhatiannya tertumbuk pada secarik foto yang menyembul di antara halaman buku binder.
Adib menjangkau buku binder dan membukanya pada halaman yang dibatasi secarik foto tadi. Ditatapnya bersama guratan rindu potret Sevda yang terabadikan dalam secarik foto berukuran post card tersebut. Beralih pada lembar halaman buku binder, Adib termangu mendapati adanya sebuah tulisan. Tulisan tangan Kenzie.
Mama ....
Mama cantik.
Kenzie sering bertanya-tanya kenapa takdir cepat sekali membawa Mama pergi di usia Mama yang masih sangat muda. Mungkin jawabannya udah Kenzie dapatkan sekarang. Karena supaya hanya kenangan Mama yang terlihat cantik semasa muda seperti ini yang akan selalu diingat semua orang.
Ah, tapi kalau Mama udah tua sekalipun, bagi Kenzie, Mama akan selalu terlihat cantik. Baba aja juga udah tua, tapi masih ganteng aja. Baba pasti ge-er kalau tahu Kenzie bilang masih ganteng.
Kikihan kecil lolos begitu saja dari bibir Adib. Ujung jarinya sampai harus menyeka benda cair di sudut matanya yang ikut merembes.
Tapi, Ma ....
Dulu Kenzie pernah bikin baba marah. Setiap hari Kenzie selalu melawan baba. Baba bilang Kenzie anak yang nakal. Lalu baba nggak akan berhenti marah-marahin Kenzie sampai baba mengurung Kenzie di kamar atau kasih hukuman yang setimpal dengan kenakalan Kenzie.
KAMU SEDANG MEMBACA
Memory
Teen Fiction[COMPLETED] Young Adult | Religi | Romantic Comedy Mulanya Rissa si cewek tomboi itu benar-benar risi ketika harus mengubah penampilannya dengan berhijab demi memenuhi janji di hari ulang tahunnya yang tepat menginjak angka tujuh belas. Esensi berhi...