KENZIE belum beranjak dari bangku akar kayunya, walaupun Rissa sudah berpamitan pulang beberapa menit lalu. Kembali bertemankan sepi, Kenzie hanya memandangi dua bekas kosong cup puding cokelat vla vanila itu karena isinya yang kini memang tak bersisa lagi.
Segaris senyum tipis tercetak di bibirnya. Tidak salah juga ia meminta Rissa datang ke rumahnya, meski harus berdalih di balik permintaan mengantar puding cokelat vla vanila itu. Setidaknya cewek itulah orang pertama yang mengucapkan selamat ulang tahun untuknya secara langsung.
Dan soal puding cokelat vla vanila itu, mungkin bagi Kenzie sendiri ini kedengarannya aneh, mungkin juga berlebihan. Namun, bolehkah ia menganggap puding cokelat vla vanila buatan Rissa lebih istimewa daripada sebentuk kue ulang tahun super mewah khas patisserie chef hotel berbintang lima milik papanya sekalipun?
Ah, sepertinya Kenzie akan semakin menyukai setiap pertemuannya dengan Rissa.
Perhatian Kenzie beralih pada ayunan papan kayu di bawah pohon mangga. Sekejap bayangan Rissa bersama ayunan itu terputar kembali dalam ingatannya.
"Udah hampir dua bulanan ini kamu nempatin rumah bekas tinggal keluargaku. Tapi kayaknya nggak banyak susunan yang coba kamu atau papamu ubah gitu untuk ... yah, hitung-hitung gantiin suasana rumah ini."
Kenzie tahu bagaimana babanya dulu membeli rumah ini dari teman lamanya yang tak lain adalah Tante Anna, mamanya Rissa. Babanya pun menjelaskan kenapa rumah ini sampai dijual. Kini Kenzie mengerti alasan Rissa berdiri di depan gerbang rumahnya waktu itu. Cewek itu memang menyukai suasana rumah bekas tinggal keluarganya dulu. Salah, tepatnya merindukan suasana rumah dan kenangan almarhum papanya jika Kenzie tak menampik sorot kerinduan itu di mata Rissa.
"Ayunan itu bahkan masih ada di situ. Jangan bilang karena kamu sendiri masih suka main ayunan. Masa' orang segede kamu masih main ayunan. Kayak anak kecil aja tahu nggak?"
Sejak tinggal di rumah ini, Kenzie dan babanya memang tidak melakukan banyak perubahan berarti seperti berniat merenovasi beberapa bagian interior atau sekadar mengganti warna cat dinding. Rumah ini sudah bagus. Untuk apa diubah-ubah lagi?
Lagi pula babanya jelas akan lebih memilih menguras waktunya untuk kegiatan bisnis daripada menyibukkan diri mengatur segala tetek bengek isi rumah yang seharusnya dikerjakan seorang istri. Tentu saja jika masih memiliki seorang istri. Namun, semenjak tulang rusuknya itu pergi untuk selamanya, cukuplah asisten rumah tangga yang dipercayai babanya untuk mengatur rumah.
Kenzie sendiri pun tidak mempermasalahkan soal rumah. Bisa kembali ke Indonesia saja sudah syukur. Tidak peduli di mana ia mau tinggal. Asal bisa selalu dekat dengan orang-orang yang disayanginya itu sudah lebih dari cukup.
Termasuk ayunan itu, tak seorang pun ingin mengusiknya. Toh, memang tidak ada salahnya dibiarkan di situ saja.
"Apa aku boleh mainin ayunan itu? Sebentar aja."
Saat mendengar permintaan Rissa itu, rasanya Kenzie ingin tertawa geli. Bagaimana cewek itu meminta izin dengan wajah polosnya supaya bisa bermain ayunan, sementara sebelumnya dia mencibir orang yang masih suka bermain ayunan berarti kayak anak kecil? Sekarang siapa yang kayak anak kecil? Namun, pada akhirnya Kenzie membiarkan Rissa bermain sepuasnya dengan ayunan itu. Hingga Kenzie melihat tawa lepas itu. Tawa lepas Rissa yang seolah mengingatkannya pada seseorang.
"Den Kenzie ...."
Lamunan Kenzie buyar begitu ia menyadari kedatangan Bi Wati. Rupanya bukan hanya Bi Wati, melainkan juga terlihat Pak Mahmud dan Pak Kosim yang turut menyusul menghadapnya. Tidak biasanya, mereka saling kompak menyunggingkan senyum penuh arti.
KAMU SEDANG MEMBACA
Memory
Teen Fiction[COMPLETED] Young Adult | Religi | Romantic Comedy Apa pun keadaanmu, bisakah aku terus hidup dalam memorimu yang katamu sehebat ingatan gajah itu? _____ Mulanya Rissa si cewek tomboi itu benar-benar risi ketika harus mengubah penampilannya dengan b...