SEDAN hitam itu melaju di jalanan kota Taipei dengan tenang. Di jok penumpang belakang terlihat Adib masih sibuk menenggelamkan wajahnya di antara berkas-berkas kerjanya. Sementara di jok penumpang depan sebelah sopir, Praja—sekretaris sekaligus asisten pribadi Adib—tak urung menyambut diskusi kecil bersama atasannya itu sembari menyampaikan beberapa poin catatan dari tabletnya atas hasil pertemuan bersama Wang Hao Cruise hari ini.
Mobil yang dikemudikan sopir berhenti tepat di depan pelataran sebuah hotel mewah. Seorang bellboy dengan segera membukakan pintu belakang mobil dan memberi hormat kepada Adib yang tak lain merupakan pemilik hotel itu sendiri. Praja menyusul turun dari mobil sambil menenteng koper, tablet, serta dokumen yang tidak ditampung dalam koper. Ia lalu mengekori jalan Adib melewati pintu kaca hotel yang kembali disambut petugas doorman dengan senyum hangat dan anggukan hormat.
Mereka memasuki sebuah lift yang akan mengantar ke lantai atas. Adib meminta Praja menyiapkan kontrak perjanjian untuk kerja sama hotel kapal pesiar dengan Wang Hao Cruise. Praja pun menyahut titah Adib dengan intonasi penuh kesiapan.
Selanjutnya Adib mengalihkan topik yang lebih santai dengan menyuruh Praja menikmati sejenak sisa waktu di hari Minggu ini sebelum ke depannya akan lebih disibukkan dengan agenda kerja sama bisnis perusahaan mereka. Memang yang namanya bisnis tidak mengenal waktu, termasuk saat mau tidak mau harus tetap mencondongkan atensi di satu hari dalam seminggu yang seharusnya digunakan untuk memanjakan pikiran dari rutinitas pekerjaan. Dari pihak Wang Hao Cruise sendiri pun tidak mau menyia-nyiakan waktu yang ada, sehingga mereka sepakat saja melakukan meeting sekalipun bukan hari kerja.
Adib memang orang yang menaruh keseriusan total dalam kinerja berbisnis. Kompetensi secara profesional serta dedikasinya yang tinggi sebagai penerus kepemimpinan Hanggara Group tidak perlu diragukan lagi telah menuruni kecakapan berbisnis Wahid Hanggara. Namun, Adib juga bukan orang yang cenderung kaku untuk bisa disebut mengintimidasi waktu pribadi para bawahannya.
Lift masih bergerak naik menuju lantai 32 kamar hotel president suite. Jelas di lift khusus untuk para direksi itu hanya terisi oleh Adib dan Praja.
"Oh, ya, Pak Adib ...," kata Praja ketika ia teringat sesuatu yang mesti disampaikannya pada Adib. Namun, pria berusia kepala tiga itu belum meneruskan ucapannya lagi hingga Adib menegur.
"Ada apa, Praja? Apa yang ingin kamu katakan?"
"Sebenarnya ini tentang ... Ibu Fusun."
❤
"Beliau meninggal dunia kemarin malam."
Adib masih bergeming di depan jendela kaca besar kamar hotelnya. Satu tangannya bersemanyam di dalam saku celana, sementara tangan yang lain dibiarkan lunglai di samping tubuh. Berdiri pada posisi menghadap langsung ke luar memang memungkinkan Adib menguak dengan mata terbukanya sendiri lukisan nyata Kota Taipei yang tak sungkan-sungkan memamerkan bentang metropolisnya. Demikian terekam melalui kesibukan arus kendaraan berbagai arah hingga membentuk rangkaian jalur yang menyatukan tiap titik sudut kota. Pun, bersepadan oleh latar belakang panorama gedung-gedung pencakar langit yang menjadi wujud modernisasi Taiwan di mata dunia.
Namun, sayang sekali spot yang begitu sempurna itu tidak sedang dimanfaatkan Adib untuk menikmati sensasi jatuh hati akan pesona hamparan Taipei di bawah naungan langit biru cerahnya. Tidak juga untuk menyuarakan kekokohan Gedung Taipei 101 yang di kejauhan tampak paling menjulang di antara lainnya. Pencakar langit paling ikonik yang selalu menjadi destinasi wisata favorit di Negeri Naga Kecil Asia itu. Yang sesuai namanya memiliki lantai berjumlah 101 sehingga pernah tercatat sebagai gedung tertinggi di dunia sebelum rekornya kemudian dilengserkan oleh Burj Khalifa di Dubai. Tidak, Adhib tidak berdiri di ketinggian lantai 32 kamar hotelnya untuk mencetak semua keindahan pemandangan di luar sana ketika di dalam kedua bola matanya lebih banyak mencetak luka.
KAMU SEDANG MEMBACA
Memory
Fiksi Remaja[COMPLETED] Young Adult | Religi | Romantic Comedy Apa pun keadaanmu, bisakah aku terus hidup dalam memorimu yang katamu sehebat ingatan gajah itu? _____ Mulanya Rissa si cewek tomboi itu benar-benar risi ketika harus mengubah penampilannya dengan b...