ERLANG menurunkan tumpukan kardus dari motor matic-nya. Saat ini ia telah sampai di depan rumah Nona untuk mengantarkan kue-kue pesanan neneknya.
"Lho, Erlang?" Dari pintu rumah Nona yang memang menjeblak terbuka, tampak Nona tergopoh-gopoh keluar menyambut kedatangan Erlang. "Kenapa kamu repot-repot yang nganterin ke rumah? Nenekku baru aja mau kirim sopir buat ambil ke tempat kamu."
"Nggak apa-apalah. Anggap aja ini special free delivery," sahut Erlang dengan senyum lebarnya.
Sekejap Nona merasa salah fokus ketika penglihatannya harus terperangkap oleh senyuman Erlang yang seperti itu.
"Acaranya belum dimulai kan, Non? Takut aja kalau aku telat nganter pesanannya."
Terdengarnya kembali suara Erlang menyentakkan Nona yang sempat melamun. Segera ia menata sikap normalnya kembali seiring meneruskan kunyahan permen karetnya yang menjadi khas cewek tomboi itu. "Eh, mm ... belum kok, Lang. Sanak saudara kami yang lain juga belum pada datang. Ya, udah, langsung bawa ke dalam aja, ya, Lang. Sebentar, aku panggil nenekku dulu."
Erlang melepas sandalnya di luar, lalu mengikuti Nona masuk untuk menaruh kue-kue pesanan itu. Di dalam rumah nenek Nona, tampak ruang tamunya sudah lowong dari sofa maupun meja, tergantikan oleh alas karpet yang dibentangkan luas dari ujung ke ujung.
Sambil menunggu Nona memanggil neneknya, Erlang iseng mengetuk-ngetukkan jarinya pada meja konsol yang berada pada foyer antara teras dan ruang tamu. Ia ingat terakhir kali bermain ke rumah Nona adalah saat kelas tiga SMP. Sejauh pandangnya, tidak banyak perubahan tatanan dalam rumah Nona, kecuali bagian plafon yang sepertinya sedikit mendapat sentuhan renovasi.
"Kamu Erlang, kan?"
Sontak Erlang menoleh pada suara bariton yang menegur namanya. "Om Agus!" Menjauh dari meja konsol, Erlang segera mencium punggung tangan pria paruh baya yang tak lain adalah papanya Nona.
"Sudah lama om tidak lihat kamu. Kenapa sekarang kamu jadi jarang main ke sini?"
"Iya, Om. Mungkin karena Erlang sekarang sibuk bantu-bantu mama, makanya jadi jarang main ke mana-mana. Ini aja Erlang ke sini buat nganter pesanan Nek Ida."
Agus mengangguk-angguk. "Wah, jualan kue mamamu sepertinya tambah laris, ya. Kalau begini tidak salah mamamu memilih resign dari pekerjaannya dan mulai bisnis sendiri. Neneknya Nona saja sampai suka sekali sama kue-kue buatan mamamu."
"Alhamdulillah, Om. Dengan bisnis kecil-kecilan begini, mama juga jadi lebih bisa ada waktu di rumah, terutama untuk merawat papa."
Untuk alasan itu, Agus memang sudah mendengar dari putrinya terkait musibah yang menimpa papa Erlang saat dinyatakan terkena strok. Oleh sebab itu, sejak dua tahun lalu papa Erlang terpaksa dipensiunkan dini dari jabatannya sebagai kepala Satreskrim Polres (Satuan Reserse Kriminal Kepolisian Resor). Tak berselang lama, mama Erlang mengambil pengunduran dirinya sebagai manajer keuangan perusahaan fiberglass demi fokus merawat papa Erlang.
Bermodalkan uang tabungan dan pensiunan, mama Erlang pun mulai merintis usaha jualan aneka kue dan jajanan pasar secara offline maupun online yang sekiranya cukup untuk menyambung hidup.
"Tapi papa kamu masih rutin terapinya, kan?" tanya Agus kemudian.
"Masih, Om. Sekarang papa udah mulai bisa bicara dan menggerakkan tangannya sedikit-sedikit," sahut Erlang.
"Syukurlah. Om doakan semoga papamu lekas sembuh." Tangan kekar Agus menepuk pundak Erlang untuk menyalurkan bentuk empatinya.
"Aamiin."
Masih tidak melepaskan tangannya, kini Agus beralih menepuk lengan kanan Erlang beberapa kali, seakan masih takjub melihat pemuda bertubuh atletis di hadapannya. "Melihatmu sekarang, om tidak menyangka kamu sudah jadi segagah ini," ujar pria berpangkat letnan kolonel infanteri TNI itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Memory
Teen Fiction[COMPLETED] Young Adult | Religi | Romantic Comedy Apa pun keadaanmu, bisakah aku terus hidup dalam memorimu yang katamu sehebat ingatan gajah itu? _____ Mulanya Rissa si cewek tomboi itu benar-benar risi ketika harus mengubah penampilannya dengan b...