6. Sekolah Baru

1.8K 176 127
                                    

KURANG dari lima menit sebelum bel masuk berbunyi, MPV hitam itu sudah berhenti di depan gerbang sekolah. Itu juga setelah Kenzie meminta Pak Mahmud sedikit mengebut dan melupakan pesan babanya sebelum berangkat tadi.

Mau bagaimana lagi, gara-gara babanya juga, kan, yang mengutus Kenzie menjemput 'Tuan Putri' itu waktunya jadi mepet untuk sampai ke sekolah. Untungnya Pak Mahmud mempunyai kelihaian menyetir setara pembalap F1, sehingga Kenzie dan Rissa tidak perlu terlambat.

Rissa baru akan turun dari mobil ketika tiba-tiba bahunya terjingkat dan menyadari kalau ia belum mengenakan sesuatu yang nyaris terlupakan di kepalanya. Buru-buru cewek itu mengeluarkan sehelai kerudung berwarna putih dari dalam tas, lalu dengan cekatan menutupkan pada rambutnya yang sudah dikuncir ke belakang.

Melihat tindakan Rissa tersebut, Kenzie yang tadinya juga hendak turun dari mobil jadi sejenak mengalihkan perhatiannya ke arah cewek itu. Ia memiringkan kepalanya ke sisi kiri sembari mengingat sesuatu.

Benar juga, kemarin di tukang bakso, Kenzie bertemu Rissa yang memakai kerudung. Namun, pagi ini Kenzie ternyata baru sadar melihat Rissa tanpa kerudung sebelum cewek itu tengah memakainya sekarang. Aneh, berhijab kok seperti pintu lift. Buka-tutup.

"Kamu pakai kerudung?" Nada aneh bercampur ragu terdengar dalam pertanyaan Kenzie.

"Kamu nggak lihat baju seragamku panjang-panjang gini?" Hanya membalas Kenzie dengan santai, Rissa tidak menghentikan kesibukannya melipat-lipat kain kerudung sesuai bentuk yang diinginkannya.

Kenzie memang dapat melihat baju seragam yang dikenakan Rissa terdiri dari kemeja putih berlengan panjang dan rok rempel abu-abu yang panjang pula. Sejauh pantauannya terhadap para siswi lain yang berduyun-duyun memasuki gerbang sekolah pun dapat dibedakan dari tipe seragam yang mereka kenakan. Yang tidak pakai kerudung mengenakan seragam pendek, sementara yang pakai kerudung mengenakan seragam panjang. Dilihat dari panjang-pendeknya seragam, Rissa termasuk tipe kedua, tetapi kerudung tidak terpakai dari rumah. Nah, jadi bingung, kan?

"Makanya kerudung itu dipakai dari rumah napa?" seloroh Kenzie yang masih memerhatikan Rissa kocar-kacir mencari jarum pentulnya.

"Kamu gampang bilang begitu, karena kamu cowok nggak perlu pakai ginian. Nggak merasakan gimana gerahnya pakai kerudung, sih," sewot Rissa.

Masih menjadi kebiasaan Rissa sejak mulai berhijab—yang sebenarnya berhijab karena dipaksa mamanya—ia masih enggan memakai kerudungnya dari rumah. Mengganti seragam pendeknya dengan yang panjang saja sudah membuatnya gerah dan ribet, apalagi ditambah kerudung.

Rissa baru memakai kerudungnya setelah sampai sekolah. Biasanya di parkiran motor atau di toilet sebelum masuk kelas. Begitu pun sepulang sekolah. Kalau Rissa masih betah berkerudung, ia akan memakainya sampai pulang ke rumah. Sebaliknya kalau keburu tidak betah, copot saja di jalan.

Kenzie hanya memutar bola matanya mendengar alasan Rissa. Cuma karena gerah begitu jadi seenaknya buka-tutup hijab? Setahu Kenzie, Ammah Shafira—ummanya Sakha—yang bahkan selalu mengenakan abaya serta khimar yang gedenya sampai hampir menyentuh mata kaki itu adem-adem saja dengan pakaiannya. Lha ini Rissa cuma pakai kerudung tipis, tetapi ngeluhnya minta ampun.

"Ternyata dia beneran cewek aneh," desis Kenzie sebelum memutuskan keluar duluan dari mobil. Ya, sejak awal cewek itu, kan, memang aneh.

Rissa tidak mengacuhkan apa yang baru saja dikatakan Kenzie. Sebenarnya ia memang tidak mendengar perkataan Kenzie karena perhatiannya masih sibuk menyematkan jarum pentul.

Sementara itu, Kenzie yang berjalan di selasar gedung utama SMA Bina Karisma tengah menikmati perasaan bahagianya. Akhirnya ia bisa merasakan juga bersekolah di Indonesia, lalu bertemu guru-guru dan teman-teman baru nantinya. Ia harap akan memiliki kenangan yang tak terlupakan selama setahun ke depan nanti di sekolah ini.

Langkah Kenzie tiba-tiba terhenti begitu ia sampai di persimpangan. Kepalanya menengok kiri-kanan beberapa kali hingga berhenti pada posisi miring ke sisi kiri. Kerutan dalam tercetak di keningnya. Pertanyaan yang kemudian tebersit dalam hatinya adalah di mana letak ruang kepala sekolah.

Tidak, Kenzie bukannya tidak tahu. Ia hanya ragu, apakah kemarin itu mengambil arah utara atau selatan pada saat datang mendaftar ke sekolah ini diantar babanya.

Waktu itu saking senangnya melihat-lihat pemandangan bakal sekolah barunya, ia sampai tidak memerhatikan jalan dan hanya mengekori babanya dan seorang guru yang memandu. Terlebih saat itu koridor sedang sepi karena masih jam pelajaran. Tidak seperti sekarang yang terlihat ramai oleh kedatangan siswa-siswi.

Sebentar, mungkin ia bisa sedikit menggunakan analisisnya. Koridor sebelah utara begitu ramai siswa-siswi. Mereka yang baru datang juga kebayakan langsung menuju ke arah koridor utara. Sedangkan koridor selatan cenderung sepi lalu-lalang siswa-siswi. Kemungkinan yang lebih sering lewat koridor selatan adalah para guru maupun staf, karena memang di situlah letak ruang guru, termasuk ruang kepala sekolah.

Aha! Jadi sudah jelas ruang kepala sekolah ada di ....

"Sebelah selatan. Jalan lurus sampai ketemu UKS. Terus belok kanan. Ruang kepala sekolah ada di depan ruang guru."

Sontak Kenzie menoleh asal suara itu. Rissa yang sudah berpenampilan dengan kerudungnya tahu-tahu berdiri di sampingnya.

"Petunjukku nggak menyesatkan. Tapi kamu jangan ge-er dulu. Aku bantu kamu kasih petunjuk karena takutnya nanti ada anak jurnalistik kelewat khilaf mau meliput muka plonga-plongomu itu yang udah kayak anak hilang. Jadi sebelum muka plonga-plongo kamu itu menuh-menuhin kolom majalah sekolah, aku kasih tunjuk ruangan yang mau kamu tuju."

Sial, cewek itu ceritanya sedang membalas, ya. Kenzie menatapnya dengan dongkol. "Eh, tanpa kamu beritahu, aku juga udah tahu di mana ruangan kepala sekolah!" semburnya.

Rissa hanya mencebikkan bibirnya sambil memberikan pandangan 'nggak percaya aku, tuh' dengan mata menyipit.

"Dan lagi, kamu nggak perlu repot sok mau akrab sama aku cuma karena orang tua kita saling kenal," sambung Kenzie.

Rissa mendengkus keras. "Dih, siapa juga yang mau dekat-dekat kamu. Cowok nyebelin, tukang nuduh sembarangan, perebut bakso orang."

"Nggak kebalik, tuh? Bukannya kamu duluan yang mulai cari-cari masalah?" balas Kenzie.

Lagi, dengan ekspresi mencebiknya, Rissa menirukan perkataan Kenzie. "Pokoknya buat tumpangan yang tadi, aku anggap sekarang kita impas. Jadi aku nggak ada utang makasih lagi atas tumpangan istimewamu tadi."

"Terserah kamu aja." Kenzie membuang muka dan memilih segera menuju ruang kepala sekolah saja daripada tidak ada faedahnya meladeni cewek rese itu.

"Ingat baik-baik, jalan lurus ke selatan sampai ketemu UKS. Terus belok kanan. Ruang kepala sekolah ada di depan ruang guru. Ada tulisannya, kok. Ruang-Kepala-Sekolah. Hati-hati, jangan sampai nyasar."

Rissa terkekeh puas dengan ucapannya yang ia yakin berhasil membuat tampang Kezie dua kali lipat lebih dongkol. Benar saja, Kenzie kembali menghadap Rissa sembari siap menyemprot.

"HEI, UDAH KUBILANG AKU NGGAK BUTUH PETUNJUKMU! DAN ASAL KAMU TAHU, YA, INGATANKU ITU SEHEBAT INGATAN GAJAH. AKU MASIH INGAT TANPA PERLU KAMU ULANGI."

"Oke, Gajah, kalau kamu juga ingat ini, nanti sampaikan pada kepala sekolah supaya kamu jangan dimasukkan ke kelas yang sama denganku." Rissa menjulurkan lidah bertepatan bel masuk sekolah berbunyi.

"EH, MACAN JELEK, KAMU PIKIR AKU JUGA MAU APA SEKELAS DENGANMU!" seru Kenzie ketika Rissa sudah berlalu tanpa mengindahkannya lagi. Ia pun hanya bisa mencak-mencak tidak keruan sebelum meneruskan tujuan awalnya ke ruang kepala sekolah.

MemoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang