MEMUTUSKAN tidak langsung pulang usai dari rumah Kenzie, rupanya Rissa membelokkan skuter matic-nya ke sebuah SPBU. Mengisi bensin. Memang, sih, jarum indikator bensinnya belum mepet-mepet banget menyentuh huruf 'E'. Namun, Rissa sengaja mengisi penuh lagi bensin motornya sekarang daripada besok masih repot-repot mengantre di SPBU. Tahu sendiri besok sudah hari Senin.
Baru saja Rissa keluar dari area SPBU ketika ponsel yang dikantonginya berdering. Rissa menepikan motornya demi mengangkat panggilan masuk itu.
"Iya, halo, Ma."
"Rissa, kamu di mana? Masih di rumah temanmu?"
"Nggak, Ma. Ini Rissa baru ngisi bensin. Ada apa, Ma?"
"Ah, begini kalau kamu masih di jalan, mama mau minta tolong sama kamu."
"Minta tolong apa, Ma?"
"Mama baru ingat krim pelembap wajah mama, kan, udah mau habis. Mama bisa minta tolong kamu belikan enggak, Sayang?"
"Oh, krim pelembap yang biasa Mama pakai itu. Bisa, kok, Ma. Nanti Rissa belikan sebelum pulang."
"Makasih, ya, Sayang. Oh, ya, gimana tadi pudingnya yang kata kamu buat tugas sekolah itu? Temanmu suka sama ide pudingmu, kan?"
"Oh, itu ... mm ... i-iya, Ma. Suka ... kayaknya, sih, suka."
"Apa, Sayang. Suara kamu kurang kedengaran. Bising banget, ya, di sana."
"Iya, suka, kok, Ma. Temanku suka sama puding itu."
"Oh, baguslah. Berarti, kan, kalian tidak ada kendala untuk bikin laporannya. Tapi mama baru tahu kalau di kelas kamu ada tugas kewirausahaan segala?"
"O-oh, itu ... itu cuma tugas tambahan, Ma. Jadi itu buat anak-anak IIS biar lebih mendalami pengaplikasian akuntansi produksi. Ya, itu maksudnya seiring lewat jiwa entrepreneurship gitu kita diajarin bikin produksi kecil-kecilan langsung dengan produk nyata dari mengolah bahan baku menjadi barang jadi biar bisa menghitung HPP."
"Oh, begitu."
"I-iya, Ma. Udah, Mama tenang aja. Tugasnya udah beres, kok, he-he-he ...."
"Ya, sudah kalau begitu. Tapi nanti kasih tahu mama kalau nilainya sudah keluar, ya. Mama mau tahu kelompok kalian dapat nilai berapa."
"A-APA?"
Rissa masih terpaku dengan mulut menganga, mata tak berkedip, dan ponsel yang masih menempel di telinga kanan, meskipun pembicaraan di telepon itu sudah berakhir. Bagaimana mungkin bisa ada nilai, sementara tugas tambahan menyangkut akuntansi produksi itu hanyalah fiktif? Hanya karangan Rissa.
Lagi-lagi Rissa ingin menyalahkan Kenzie. Gara-gara cowok itu Rissa mesti kena buntut panjang akibat kebohongan yang dibuatnya. Mungkin akan lebih mudah kalau Rissa jujur saja puding cokelat vla vanila itu sengaja dibuatnya untuk Kenzie dan bukan untuk tugas sekolah. Namun, Rissa terlalu tengsin. Adanya Rissa yang bakal diledekin mamanya. Apalagi kalau mamanya tahu sebab memalukan yang melatarbelakangi pembuatan puding itu. Tadi saja Rissa mesti pandai-pandai beralasan saat akan membawa puding itu ke rumah Kenzie. Tentu saja Rissa tidak terang-terangan menyebutkan ke rumah teman itu maksudnya adalah ke rumah Kenzie.
❤
Krim pelembap wajah yang dipesan mamanya sudah dibeli Rissa. Masih berkitar di dalam mal, tiba-tiba pandangan Rissa tertarik pada toko pernak-pernik aksesoris yang tengah dilewatinya. Entah bagaimana langkahnya kemudian mengarah memasuki toko yang dipenuhi berbagai macam aksesoris lucu dengan warna-warninya itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Memory
Teen Fiction[COMPLETED] Young Adult | Religi | Romantic Comedy Apa pun keadaanmu, bisakah aku terus hidup dalam memorimu yang katamu sehebat ingatan gajah itu? _____ Mulanya Rissa si cewek tomboi itu benar-benar risi ketika harus mengubah penampilannya dengan b...