33. Khimar Merah Marun

1K 134 63
                                    

"SSH ... HHAH ... PAHNASH ... PAHNASH ...!"

Refleks saja mulut Rissa terbuka megap-megap, sementara kelima jari tangannya mengipas-ngipas lidah ketika sensasi panas menguar dari bulatan bakso yang tertahan di rongga mulutnya. Secepat kilat ia menyambar cup es tebunya dan langsung mengguyur lidahnya yang nyaris melepuh itu.

"Makanya kalau makan itu jangan kayak kancil dikejar macan. Masih panas juga main embat aja. Jangan-jangan nggak pakai doa lagi sebelum makan," sindir Kenzie sekaligus mencibir.

"Eh, siapa bilang nggak doa? Mana kukira kalau baksonya masih panas." Rissa menoleh sewot antara keki dan malu. Keki, karena Kenzie bukannya ikut prihatin melihat nasib lidahnya yang baru saja mendapat serangan Negara Api. Dan malu, karena Rissa akui tadi berdoanya sekadar wes ewes ewes alias tidak kusyuk supaya bisa cepat-cepat makan.

"Kamu mau tahu caranya biar baksomu nggak panas lagi?" celetuk Kenzie. Kedua matanya menyipit jail. "Tuh, sana, minta aja es batu sama mbak-mbak penjual es tebu, terus cemplungin esnya ke kuah bakso kamu. Dijamin nggak panas lagi."

Rissa berjengit, sementara Kenzie terbahak puas oleh lawakan garingnya sendiri. "Makasih buat saran menyesatkannya," desis Rissa gondok.

Oh, soal es tebu ... tadi Rissa tidak salah ambil sama punyanya Kenzie, kan? Syukurlah, ia pikir mengambil cup yang salah karena letak keduanya berdampingan di tengah-tengah kursi taman itu.

Ya, kurang lengkap rasanya kalau makan bakso tanpa ditemani minuman segar. Jadi Rissa pun membeli es tebunya Mbak Gendhis, kembang desa asal Banyumas yang konon melarikan diri ke Semarang karena tidak mau dijodohkan bapake (baca: pakai bahasa ngapak) sama CEO ganteng, muda, berbakat, dan terpenting pewaris tunggal tahta kerajaan bisnis showroom odong-odong turun-temurun keluarganya. Pelarian Mbak Gendhis membawanya bertemu dengan Mas Parjo. Sejak saat itu Mbak Gendhis mulai berjualan minuman manis dari sari tebu alami demi bisa deketan sama Mas Parjo gebetannya yang berlabel calon suami dunia akhirat.

Rissa mengaduk-aduk bakso di dalam mangkuk bergambar ayam jago itu supaya panasnya agak berkurang. Ia tidak peduli kalau di sampingnya Kenzie masih sibuk tertawa sampai gegulingan kek, nungging kek, kayang kek, salto sampai kena encok kek. Yo wis ben. Terserah saja. Kelaparan sudah membuat kepala Rissa pening. Kalau mesti ditambah menanggapi cowok kurang kerjaan itu, bisa-bisa Rissa masuk angin.

"Ya? Halo, Pak Mahmud?"

Tawa Kenzie baru berhenti begitu ponselnya berdering hingga diangkatnya panggilan masuk itu. Rissa meliriknya yang masih mendengarkan penuturan orang di seberang ponselnya.

"Oh, mau beli pulsa. Ya, udah, Pak Mahmud pergi aja dulu, baru nanti jemput ke sini. Aku juga nggak buru-buru, kok."

"By the way, kenapa kamu bisa di sini? Habis dari mana?" tanya Rissa pura-pura kepo selepas Kenzie menutup telepon.

Kalau dilihat dari penampilan cowok itu, sih, cukup santai. Kenzie hanya mengenakan setelan kaus round neck putih dan celana cargo 3/4 berwarna charcoal. Untuk alas kakinya juga hanya mengenakan sandal Crocs dengan model berlubang-lubang di bagian depannya itu. Menambah kesan cool, sebuah topi bisbol merah dengan bordiran khas logo perusahaan pakaian ternama sengaja dipakainya secara terbalik. Eh, tapi, apa itu yang ada di dahi Kenzie? Codet?

Benar juga, selama ini gaya rambut Kenzie yang ditata ke depan membuat codet atau bekas luka itu tertutupi. Namun, karena sekarang Kenzie mengenakan topi dengan gaya terbaliknya, sebagian rambut yang biasa menutupi dahinya ikut tersingkap ke dalam topi. Bekas luka yang memanjang di dekat pelipis kiri Kenzie jadi tampak jelas di mata Rissa. Tidak, bahkan saat benar-benar memerhatikannya, Rissa baru yakin itu bukan bekas luka biasa. Itu bekas jahitan.

MemoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang