3. Hangatnya Kenangan Rumah Papa

2.4K 214 128
                                    

TAKSI berwarna biru yang dinaiki Rissa berbelok ke jalan yang agak lengang lalu-lalang kendaraannya, masuk ke sebuah gate kompleks perumahan bertuliskan 'Bukit Permata Regency'. Sebuah kompleks perumahan elite lengkap dengan fasilitas umum dan sosial yang disediakan pihak developer.

Rissa menyandarkan kepalanya pada headrest, sementara kendaraan umum bertarif argo itu melewati jalanan aspal yang cukup lebar dengan deretan pepohonan palem yang memisahkan antara lajur kiri dan kanan. Sesekali bibir cewek yang sebulan lalu tepat berusia tujuh belas tahun itu mengulum senyum kecil ketika menikmati kembali perasaan bahagianya karena bisa bertemu Sakha.

Sakha, andai aja kamu tahu siapa aku. Percayalah, sampai kapan pun aku nggak akan lupa tentang perjumpaan pertama kita di taman rumah sakit sepuluh tahun lalu. Mungkin sekarang kamu belum ingat aku. Tapi cukup dengan aku yakin kalau kamu adalah Ava, itu udah bikin aku senang karena berarti kamu udah ada sedekat ini denganku.

"Pak, Pak, berhenti depan, ya."

Mendengar perintah yang tiba-tiba diserukan penumpangnya itu, sopir taksi pun segera menepikan taksinya. "Tapi, Mbak, ini masih Blok IV. Bukannya Mbak mau ke Blok VI, ya?" tanya sopir taksi paruh baya itu dengan kening berkerut heran begitu menolehkan kepalanya ke belakang.

Blok IV? Seperti orang linglung, sejenak Rissa tertegun begitu menyadari dirinya malah minta diberhentikan di lokasi yang bahkan belum menjadi tujuannya. Saat ini taksinya tepat berhenti di depan sebuah rumah dua lantai bergaya klasik. Rumah yang tidak asing. Rumah yang membangkitkan desir kerinduan akan kenangan yang pernah tersimpan di dalamnya.

Rumah papanya ....

"Nggak apa-apa, Pak. Saya turun di sini aja," kata Rissa kemudian. Ia pun turun dari taksi setelah membayar ongkos sesuai yang tertera pada argo.

Kini Rissa sudah sepenuhnya kembali menatap rumah itu. Setidaknya ia akan sekali lagi menyebut itu rumah papanya jika memang masih milik papanya. Sayang sekali setelah papanya meninggal setahun yang lalu, rumah itu terpaksa dijual demi melunasi utang-utang perusahaan papanya. Agung Byanta Cargo yang bergerak di bidang ekspedisi pengiriman barang dinyatakan pailit.

Diam-diam Rissa memang mendengar kalau dua tahun belakangan sebelum kepailitan itu perusahaan papanya terus mengalami defisit. Papanya dituntut memeras otak untuk menstabilkan kembali keadaan perusahaan yang sudah dirintisnya dari nol.

Di tengah kemelut para karyawan-baik aktif maupun dirumahkan yang mulai menggerakkan aksi demo menuntut kejelasan prospek perusahaan-salah seorang rekan kepercayaan papanya justru tega menipu dengan melarikan dana investasi yang menjadi satu-satunya harapan saat itu.

Sempat papa Rissa bisa sedikit lagi berhasil menggagalkan rencana penipu itu yang akan melarikan diri ke luar negeri. Aksi kejar-kejaran antar mobil pun terjadi. Namun, saat hendak menyalip mobil penipu itu, mobil papa Rissa sudah lebih dulu dihantam sebuah truk dari arah samping. Kecelakaan nahas itu pun tak bisa terelakkan. Papanya meninggal dalam perjalanan menuju rumah sakit. Setahun lalu.

Rissa menggelengkan kepalanya kuat-kuat, berusaha mengusir bayangan paling menyedihkan saat ia harus kehilangan sang papa yang sangat disayanginya. Sudah setahun kepergian papanya, dan kini Rissa tahu alasan dirinya bisa berdiri di depan rumah ini karena ia merindukan sosok hangat pelindung keluarga itu.

Walaupun sudah berpindah kepemilikan, tetapi Rissa cukup senang karena tidak ada yang berubah dari rumah bekas tinggal keluarganya tersebut. Warna cat rumah utamanya masih sama. Kolam air mancur, kebun bunga mawar, pohon mangga, dan ayunan itu ... ayunan dari papan kayu buatan papanya yang digantungkan pada dahan pohon mangga juga masih ada. Betapa dulu Rissa sangat senang bermain dengan ayunan itu dan ayahnya yang mendorongkan.

MemoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang