25. Harta Paling Berharga

1.3K 138 60
                                    

"ASTAGFIRULLAH, Adib! Jadi ini kamu masih di Taiwan?"

Sejenak Shafira menghentikan gerakan tangan kanannya mengaduk gula di dalam cangkir yang berisi seduhan kopi itu. Sedangkan tangan kirinya mempertahankan layar ponsel tetap menghadap wajahnya. Di layar alat komunikasi berbentuk pipih itu memang tengah menampilkan panggilan videonya bersama Adib. Cukup dengan melihat latar belakang pemandangan dari tempat Adib menerima panggilan videonya, Shafira memang harus memercayai kalau adik kandungnya yang berselisih usia empat tahun darinya itu memang masih berada di negeri orang.

"Agenda mendadak berubah, Mbak. Mereka minta tanda tangan kontrak perjanjian kerja sama itu dimajukan," jelas Adib.

"Tapi kamu sendiri yang bilang akan pulang sebelum akhir pekan ini, kan?" Terlontar nada agak kesal dari ucapan Shafira kali ini.

"Aku tidak ada pilihan, Mbak. Mbak sendiri tahu benar hotel kapal pesiar itu proyek bernilai besar. Harapan abah sebelum meninggal. Aku hanya ingin mewujudkannya, Mbak."

Shafira mendesah keras. Dibawanya cangkir kopi beserta alas piring kecilnya ke meja makan dekat pantri. Perasaannya yang masih bergumpal sisa kekesalan atas sikap orang di seberang sana coba ia redam dengan mengambil posisi duduk di salah satu kursi.

"Iya, mbak paham. Tapi kamu tidak lupa, kan, kalau kehadiranmu saat ini pasti sangat ditunggu Kenzie? Ini hari ulang tahunnya kalau kamu perlu mbak ingatkan. Sedangkan, apa yang kamu lakukan ini? Kemarin-kemarin kamu sendiri yang bilang ke mbak kalau tahun ini mau kamu jadikan surprise buat dia. Tapi kenyataannya lagi-lagi kamu bikin hati keponakan mbak itu kecewa."

Tertangkap di layar panggilan video itu Adib yang tengah mengurut pangkal hidungnya dengan raut letih. "Aku minta maaf, Mbak." Lirih, pria itu berucap. Sekiranya hanya itulah yang mampu ia ucapkan.

"Adib, dengarkan mbak." Suara Shafira melunak. "Tanpa melebihi kasih sayangmu, mbak juga sangat menyayangi Kenzie seperti anak mbak sendiri. Ah, Kenzie memang anak mbak juga. Mbak yang memberinya ASI. Jadi meskipun cuma sebatas ibu susunya, tapi ikatan perasaan itu tidak ada ubahnya. Apa yang Kenzie rasakan-dia senang atau sedih-itu mbak juga bisa merasakannya."

Adib terdiam. Ia sadar selama masa-masa terpuruknya ia beruntung karena masih ada Shafira yang senantiasa menjaga Kenzie. Kelahiran prematur yang dipengaruhi komplikasi pre-eklampsia sebelumnya secara pasti akan memicu risiko terjadinya asfiksia neonatorum. Sehingga bayi yang baru dilahirkan itu mengalami gagal bernapas secara spontan dan teratur sebagai efek adanya hipoksemia.

Dari skor APGAR yang merujuk berdasarkan pemeriksaan frekuensi jantung, penilaian tonus otot, kondisi sianosis, serta refleks iritabilitas melalui rangsangan taktil, menunjukkan asfiksia yang dialami bayi pasangan Adib dan Sevda termasuk ke dalam derajat asfiksia berat. Otomatis bayi mereka harus mendapat perawatan di ruang NICU secara ketat untuk menopang resusitasi yang adekuat.

Selanjutnya Adib tidak tahu apa yang dokter-dokter itu lakukan di dalam tabung inkubator tempat menaruh bayinya. Yang jelas Adib sudah tak sanggup melihat alat-alat penunjang medis itu membelenggu tubuh bayi kecilnya yang malang.

Semua orang masih dibuat cemas dan panik luar biasa selama periode perawatan bayi Kenzie yang belum juga menunjukkan usaha bernapas, bahkan ketika sempat mengalami henti jantung. Tidak ada yang bisa dilakukan selain memohon kemurahan kepada Sang Ilahi agar menyelamatkan nyawa bayi malang itu.

Dari Shafira yang tiada putusnya merangkai doa siang dan malam. Hanif yang turut menggelar doa bersama di dalam majelis taklimnya. Hingga sang kakek yang tak jemu-jemu meminta pihak rumah sakit mengupayakan segalanya yang terbaik. Bagaimanapun ia tidak mau kehilangan cucu keduanya. Terutama mengingat kondisi psikologis Adib yang belum redam masa berkabung istrinya. Tidak bisa dibayangkan jika Adib juga harus kehilangan buah hatinya. Adib bisa kehilangan akalnya.

MemoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang