40. Trauma

1.3K 159 50
                                    

SEBUAH mal menjadi lokasi di mana mobil yang dikendarai Pak Mahmud berhenti saat ini. Beruntung kendaraan roda empat itu masih mendapati petak kosong untuk mengambil parkir di area basemen yang terlihat cukup dipadati deretan kendaraan pengunjung mal lainnya.

Mungkin karena sekarang weekend. Terlebih ketika bertepatan dengan apa yang dinamakan tanggal muda. Tanggalnya para istri belanja bulanan hasil menodong suami yang diketahui baru saja terima gaji. Dan suami yang sesaat merasa jumawa melihat dompetnya menggembung harus kembali sabar lahir batin ketika isinya sudah raib ke tangan istri dan hanya menyisakan sarang laba-laba.

Belum mengambil langkah turun dari kendaraan pribadinya, Kenzie masih menyapukan pandang ke sekeliling basemen. Ini tidak berjalan sesuai rencana. Tidak ada yang bilang kalau mereka akan pergi ke toko alat tulis yang ada di mal.

Memang benar mereka juga tidak mungkin berbelok ke mal jika saja siang ini tidak diberlakukan penutupan jalan dari rute Kota Lama menuju Balai Kota jalan Pemuda dikarenakan adanya arak-arakan ogoh-ogoh dan karnaval seni budaya lintas agama. Alhasil, mobil yang mereka tumpangi harus mengambil jalan memutar. Di situlah Rissa dengan teori berhematnya mengajukan usul ketika laju mobil lebih dekat ke arah mal. Pertimbangannya adalah jarak yang mereka lalui setelah memutar jalan berarti menjadi dua kali lebih jauh untuk mencapai toko alat tulis tujuan awal mereka.

"Jika Waktu sama dengan Jarak berbanding terbalik dengan Kecepatan, maka dengan jarak 10 kilometer lagi ke toko alat tulis itu dan kecepatan mobil sekarang, artinya baru lima belas menit lagi kita sampai. Hemat waktu sama dengan hemat bensin. Hemat bensin sama dengan hemat uang. Waktu itu berharga. Membuang-buang waktu sama aja membuang-buang uang. Udah, deh, daripada lebih banyak membuang waktu di jalan, mending kita berhenti di mal depan aja. Lagian aku tahu, kok, di mal itu ada jual yang kita butuhkan dan harganya nggak terlalu beda jauh."

Begitulah pemaparan panjang lebar Rissa akhirnya memaksa Kenzie yang kalah debat untuk mengikuti kemauan cewek itu.

"Hei, kamu nggak turun?"

Suara Rissa menyentakkan Kenzie untuk beralih perhatian pada cewek yang rupanya sudah turun dari mobil itu. Kenzie menatap ragu keadaan di sekitarnya, lalu berkata, "Kamu aja, deh, yang masuk."

"Maksudmu aku yang beli ke sana sendirian?"

"Aku kasih uangnya aja. Kamu yang cari bahan-bahannya."

Rissa menyeringai dengan tangan terlipat di depan dada. "Wahai, Tuan Muda, menurutmu ini masalah uang sampai kamu terus bisa seenaknya gitu nyuruh-nyuruh aku?"

"Jangan salah paham. Aku ... aku cuma ... perutku agak mules. Jadi, please ... aku bisa, kan, nunggu di mobil aja dan nggak usah ikut ke dalam?" Kenzie memasang raut memohon.

Mata Rissa menyipit, memastikan Kenzie sedang tidak mengada-ada biar bisa cari enaknya sendiri. Aneh saja tiba-tiba mulas, sementara sedari tadi kelihatan begitu baik-baik saja tanpa mengeluhkan apa pun. Namun, begitu diperhatikan benar-benar, Rissa cukup tergugu mendapati wajah Kenzie yang memang agak pucat.

"Ya, udah, deh, aku pergi sendiri aja. Nggak apa-apa pakai uangku dulu. Gampang nanti." Rissa memberikan seulas senyum singkatnya sebelum berlalu.

Helaan napas panjang dan berat keluar dari mulut Kenzie seiring kepala disandarkan sepenuhnya pada headrest. Untunglah Rissa percaya, sehingga Kenzie tidak perlu beralasan lebih banyak lagi. Kenzie baru hendak memejamkan kedua matanya ketika sesuatu di bawah jok lebih menarik atensinya.

Dompet? Mungkinkah ini dompet Rissa? Cewek itu pasti tidak sadar kalau dompetnya jatuh dari tas sebelum keluar dari mobil.

"Dasar ceroboh!" gumam Kenzie menatap dompet lipat bermotif emboss wajik yang telah dipungutnya. Bagaimana Rissa nanti mau membayar kalau dompetnya saja ketinggalan?

MemoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang