8. Si Macan Judes

1.5K 173 76
                                    

JAM belajar-mengajar kelas XI IIS-3 diakhiri pelajaran Bahasa Inggris oleh Pak Jeffry, idolanya anak-anak cewek dan beberapa guru wanita di sekolah karena status luar biasa Pak Jeffry yang masih single. Salah satu hal yang sepertinya sudah terjadwal dengan baik oleh Pak Jeffry adalah pemberian homework alias PR.

"Kebiasaan, ya, tuh, Mr. Jeff. PR seabrek gitu harus dikumpulin hari Rabu," keluh Juki sambil mengerucutkan bibirnya yang tebal.

"Uwaaaah ... uenak e poool!" Kinar melakukan gerakan perenggangan dengan meluruskan tangan kanannya ke atas tinggi-tinggi, sementara tangan kiri memegangi siku tangan kanan.

"Cepat tutupin itu ketekmu. Baunya mencemari udara, tahu!" celetuk Juki, pura-pura menutupi hidungnya dengan satu tangan dan tangan lainnya mengipas-ngipas udara, seolah bau menyengat khas ketek berkeringat sedang mengepul di depannya.

Serta-merta Kinar menendang kaki kanan Juki. Dibiarkannya Juki mengaduh-aduh kesakitan karena tendangan kakinya yang keras tepat mengenai tulang kering cowok itu.

"Kebangetan kamu, Kinong. Awas, kamu ya. Besok kalau Rumaisha masuk, aku aduin kamu ke dia," ancam Juki sambil membungkuk dan mengusap-usap bekas tendangan Kinar.

"Aduin aja. Yang ada Rumaisha lebih cs-an sama aku," tantang Kinar. Kepalanya lalu menoleh ke belakang sampai ia menatap Rissa yang masih membereskan peralatan tulis di mejanya. "Ris, kamu pulangnya gimana?"

"Naik angkot atau bus, lah," sahut Rissa tanpa menatap Kinar.

"Ya udah, sekalian naik bus sama aku yuk, Ris." Juki menggandeng Rissa yang usai mengemasi semua peralatan tulisnya ke dalam tas untuk keluar kelas bersama.

Kinar mengimbangi jalan kedua temannya, mengisi lorong koridor yang memang cukup dilalui dengan tiga orang saling berjajar. "Sori, ya, Ris, aku sama Kak Karren nggak bisa kasih tebengan. Habis Kak Karren bawa motor."

"Nggak masalah. Lagian ini cuma sampai motorku selesai diservis. Kata Mas Damar, sih, sore ini udah bisa diambil," ujar Rissa.

"Bagus, deh. Tapi, Ris, daripada naik angkot atau bus ini, bukannya kamu bisa nebeng mobil Kenzie lagi? Kayak berangkat tadi pagi. Lumayan, kan, nggak keluarin ongkos. Toh, kalian juga satu kompleks."

Rissa memutar bola matanya malas ketika Kinar mulai menyebut cowok itu lagi. "Males, ah. Mending aku keluarin ongkos yang nggak seberapa daripada aku kena darah tinggi berurusan sama dia."

Kinar melipat tangan kirinya di depan dada, sedangkan tangan kanannya menopang dagu. "Tapi kalau menurut aku, ya, Kenzie itu anaknya asyik, kok. Buat ukuran anak baru, dia itu supel, baik, bawaannya friendly. Dan setelah aku perhatikan dari dekat, Kenzie itu juga cakep banget. Terus-terus, kamu juga perhatiin matanya nggak? Awalnya aku kira dia pakai softlens. Eh, ternyata warna iris matanya beneran kehijau-hijauan gitu. Asli parah, nambah-nambahin cakepnya aja."

"Oh, itu karena Kenzie masih ada darah campuran Indonesia-Arab-Turki. Bapaknya keturunan Jawa-Arab. Ibunya orang Turki. Katanya mata itu sama seperti punya ibunya," timpal Juki.

"Kok kamu tahu, Juk?" Kinar membulatkan mata takjub.

Juki berkacak pinggang dengan perasaan bangga. "Ya, iya, lah. Tadi waktu aku sama Kenzie ke kantin, dia udah cerita semuanya. Makanya kamu kalau punya teman baru ajakin dia ngobrol yang berfaedah biar kamu bisa kenal dia luar-dalam."

"Iiih, kalian berdua kok malah jadi ngomongin dia, sih?" gerutu Rissa, walaupun tidak dimungkiri ia sempat tertarik mengetahui sedikit fakta tentang Kenzie yang ikut didengarnya dari obrolan kedua temannya itu.

"Kamu juga yang nggak nyantai, sih, Ris. Buktinya dia baik sama aku, sama Juki. Makanya kamu jangan galak-galak sama cowok kalau nggak mau itu cowok bikin kamu illfeel."

MemoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang