38. Photographic Memory

1.1K 125 39
                                    

PELATARAN Masjid Al-Islah masih terlihat ramai oleh beberapa jemaah pengajian yang belum memutuskan langsung pulang ke rumah. Kebanyakan adalah bapak-bapak yang sebagiannya juga ikut tergabung sebagai takmir masjid. Ada yang bercakap-cakap di teras masjid. Ada yang membaca Alquran di dalam masjid, sementara sebagiannya lagi duduk berdzikir sembari menunggu waktu salat magrib.

Sakha dan salah seorang temannya di keanggotaan remaja masjid yang bernama Hakki baru saja mencatat informasi terbaru dari Taufiq, ketua Irmas mereka mengenai revisi susunan format LPJ untuk kegiatan dakwah hari ini. Sakha dan Hakki beranjak keluar masjid begitu Taufiq menyudahi instruksinya.

"Eh, apaan, nih?" Hakki tiba-tiba membungkuk demi memungut sehelai kain di bawah kakinya. Kain persegi berwarna dusty pink itu menyembul di celah bawah hijab pembatas masjid yang menjadi partisi antara saf laki-laki dan perempuan.

"Saputangan?" gumam Sakha mengamati sehelai saputangan yang tengah dibolak-balik Hakki.

"Wah ... ini, sih, punyanya Ukhty Rum. Tuh, lihat, ada tulisannya ... RU-MA-I-SHA," kata Hakki memperlihatkan tulisan nama pemiliknya itu yang disulam di salah satu ujung saputangan. "Ente kembaliin sono, Kha."

"Lah, kok aku?"

"Ya, siapa lagi? Masa' mau dibiarin aja jatuh di sini."

Sakha menghela napas. Ia menarik tangan Hakki dan mengajaknya bersama-sama mengembalikan saputangan itu. Pasti Rumaisha tidak sadar kalau saputangannya terjatuh. Kalau Rumaisha belum pulang, seharusnya Sakha dan Hakki masih bisa mengembalikan saputangan itu secepatnya.

"Beneran tadi kamu sempat lihat Rumaisha di jembatan?" ulang Sakha memastikan. "Terus mana orangnya? Nggak ada gini."

"Iya, tadi yang ane lihat itu memang mirip, kok, sama Ukhty Rum," sahut Hakki.

"Mirip? Berarti belum tentu yang kamu lihat itu dia, dong," dengkus Sakha.

"Memang, sih, tadi ane cuma lihat dari kejauhan. Tapi pakai kerudung merah marun, kan, dia? Makanya cari aja dulu. Kali aja masih di sekitar sini." Hakki celingak-celinguk mencari keberadaan cewek dengan ciri yang disebutkannya.

Hal sama dilakukan Sakha. Memindai setiap orang yang lewat di jembatan itu. Di samping masjid memang terdapat jembatan yang dibangun di atas aliran sungai. Selain dari gerbang utama, orang-orang juga biasa keluar-masuk masjid lewat jembatan yang langsung menghubungkan ke perempatan jalan raya tersebut.

"Nah, kan, apa ane bilang. Itu dia Ukhty Rum!" Hakki berseru seraya menunjuk-nunjuk seorang cewek ber-khimar merah marun dan menyandang tas punggung kecil yang berdiri di bawah pohon kersen tak jauh dari jembatan.

Posisi cewek itu yang sedikit membelakangi dengan kepala menunduk seperti tengah mengutak-atik ponsel, tidak dapat memperlihatkan wajahnya secara jelas. Namun, Sakha yakin cewek dengan khimar merah marun rempel abu-abu yang persis dikatakan Hakki itu pastilah Rumaisha. Ya, Sakha tahu, sebab khimar koleksi edisi terbatas dari butik ummanya itu salah satunya memang dimiliki Rumaisha.

"Udah ketemu, kan? Noh, sana ente kembalikan ke yang punya." Hakki menyerahkan saputangan dusty pink itu ke telapak tangan kanan Sakha, sementara cowok tinggi kurus itu mulai berbalik.

"Eh, mau ke mana?" Tetapi Sakha sudah lebih dulu mencapit kerah baju koko Hakki.

"Kagak lihat ini ane udah nahan kebelet? Ente aja yang samperin Ukhty Rum sono. Ane mau ke toilet dulu."

"Kamu mau aku jadi khalwat sama Rumaisha? Udah, tahan sebentar. Kembalikan saputangan ini dulu, baru ke toilet."

"Setdah, di mari ramai orang-orang juga kali, Kha."

MemoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang