28. Benar Kata Baba, She's so Beautiful

655 71 2
                                    

KENZIE berjalan ke kelas duluan setelah Kinar yang baru datang langsung menggaet Rissa supaya menemaninya sarapan di kantin. Alasannya, sih, tidak sempat sarapan di rumah, karena kakaknya mengajak berangkat buru-buru untuk mengejar kelas pagi kuliahnya.

Ada bagusnya juga Kinar datang. Jadi Kenzie bisa lepas dari hawa pagi ini yang entah kenapa terasa aneh saat ia bisa menjadi canggung di depan Rissa.

Teringat kado kecil pemberian Rissa, Kenzie jadi penasaran apa isinya. Namun, lebih baik ia tahan dulu untuk membukanya. Kenzie hampir berbelok ke koridor utara ketika pandangannya sedetik lebih cepat terperangkap ke koridor selatan. Terlihat sosok Erlang berjalan di tempat ruangan kantor para guru dan staf itu. Sepertinya Erlang habis ada keperluan. Hanya saja, kenapa pagi-pagi begini? Bahkan Erlang belum sempat menaruh tasnya.

"Woy, Lang!" Kenzie menghampiri Erlang dan langsung merangkul bahu teman sekelasnya itu. "Habis dari mana?"

"Oh, dari ruang TU," sahut Erlang.

"Ngapain?"

"Itu ... cuma ... cuma disuruh tanda tangan dana beasiswa."

Kenzie hanya mengangguk-angguk. Erlang memang masuk SMA ini melalui program beasiswa non-akademik dari prestasi olahraga karate yang ditekuninya. Barusan Erlang bilang habis tanda tangan dana beasiswa. Kabar bagus, dong, karena tandanya Erlang berhasil mempertahankan beasiswanya.

Kedua cowok itu melanjutkan perjalanan ke kelas. Sampai di kelas, setengah dari anak-anak IIS-3 sudah mengisi ruangan dengan aktivitas masing-masing sambil menunggu bel pelaksanaan upacara bendera berbunyi.

SMA Bina Kharisma menggunakan fasilitas satu meja untuk satu anak. Mereka punya hak penuh untuk duduk dan menjaga meja-kursi masing-masing selama kegiatan belajar-mengajar. Akan tetapi, selama guru belum memasuki ruang kelas, meja dan kursi akan menjadi milik umum yang bebas berpindah tempat selama si empunya tidak keberatan meja atau kursi mereka dipakai bersama. Kecuali bagi mereka yang tidak suka mejanya diusik—biasanya meja-meja yang penunggunya anak kutu buku—untuk pertemuan ajang rumpi kawanan bigos alias biang gosip. Maka, tak heran jika suasana kelas di jam-jam kegabutan seperti ini akan dipenuhi meja dan kursi saling bergeser dari posisi aslinya layaknya kapal yang baru saja terkena badai di tengah samudra. Apalagi jika ditambah kegaduhan anak yang sedang bernostalgia dengan masa-masa TK-nya saat bermain kejar-kejaran atau saling lempar-lemparan bola kertas di kelas.

"Woy, Lang, Ken! Nggak mbonus kalian? Udah bikin pasukan belum?"

"Lima menit lagi perang klan rampung. Posisi sementara seri. Eh, lawan nyerang!"

"Kal, masa' kamu nyerang TH cupu cuma dapat dua bintang?"

"Kau ini cak idak tahu bae. Kehabisan waktulah aku tu gara-gara rumah builder di pojokan."

"Bi, libas, tuh, nomor tujuh. Belgedes, lawan unggul satu poin sekarang!"

"Bentar, Barbarian King-ku pulih kurang satu menit."

"Cepetin aja pakai gem."

"Emoh, eman-eman. Sini, kasih donasi Rage Spell sama Pekka dulu."

"Aku nggak buat Pekka. Minta, tuh, sama Erlang."

"Ken, cepetan war. Keburu masuk upacara nanti."

Gerombolan anak cowok di barisan belakang sudah seperti para pedagang panci di pasar becek yang sibuk berkoar-koar menarik pembeli. Namun, sayangnya mereka bukan sedang berdagang, melainkan bermain Clash of Clans (COC).

"Eh, Juk, gayamu kayak leader aja. Erlang yang leader aja nyantai," balas Kenzie. Ia menaruh tas di atas mejanya yang terletak persis di belakang meja Rumaisha. Ketika tak sengaja berserobok pandang, Kenzie pun memberikan senyum sekilasnya kepada cewek berhijab yang tengah mengajari Aulia rumus matematika itu. Rumaisha pun membalas sama.

MemoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang