13. Cinta dalam Diam

639 78 8
                                    

SAKHA menutup mushaf Alquran yang baru saja selesai dibacanya, lalu menyimpan kembali mushaf Alquran tersebut di atas bilah papan meja belajar. Masih duduk di kursi depan meja belajar, tangan Sakha kini menjangkau kertas-kertas berisi materi dakwah untuk minggu ini. Namun, baru sebentar memulai konsentrasinya membaca, ia teringat dengan seseorang yang saat ini masih berada di dalam kamar mandinya.

Sudah setengah jam lebih Kenzie menggunakan kamar mandi di dalam kamar tidur Sakha sejak cowok itu ngibrit mau numpang mandi. Bahkan sampai Sakha selesai membaca Alquran pun Kenzie belum keluar-keluar juga.

"Ken, kamu masih hidup, kan? Lama banget, sih, di kamar mandinya. Jangan bilang kamu nyambi luluran dulu!" seru Sakha dengan suara sekeras yang mungkin bisa didengar Kenzie dari dalam kamar mandi.

Usai mandi, Kenzie merasa tubuhnya lebih segar. Tidak seperti tadi, sebelum badannya yang lengket penuh keringat sehabis latihan karate itu belum diguyur air. Karena itu begitu selesai latihan, Kenzie langsung melipir ke rumah Sakha sekaligus icip-icip kue brownies buatan ummanya Sakha yang katanya khusus dibikinkan untuk Kenzie.

"Tadi itu kamu mandi atau semedi, sih?" gerutu Sakha.

"Ya, mandi, lah. Nggak cium apa aku udah wangi gini?" balas Kenzie sambil menghirup dalam-dalam aroma ketiaknya ala bintang iklan deodoran kelewat mendalami aktingnya.

"Ya, tapi nggak mesti pakai lama-lama di kamar mandi juga. Nggak baik. Itu, tuh, tempat tinggalnya setan."

"Oh, gitu ...." Kenzie manggut-manggut. "Jadi rumahmu ada setannya?"

Hadeeeh ...! Sakha nyaris menepuk dahinya sendiri. "Ah, udah, deh, capek ngomong sama kamu."

"Iya-iya, deh, Pak Ustaz. Aku juga tahu, kok. Tapi mau gimana lagi, dong. Tadi itu perutku mules pingin eek. Tapi ditungguin lama nangkring di kloset nggak keluar-keluar juga," terang Kenzie sambil mengeringkan rambutnya dengan handuk.

"Terus akhirnya keluar nggak?" tanya Sakha iseng.

"Keluar. Segini." Dengan antusias, Kenzie mengukur ukuran 'segini' dengan kepalan tangan kirinya sampai ke siku.

Sakha berjengit. "Nggak perlu kamu contohkan 'segini'-nya juga, kan?" Heran, apa Kenzie begitu tak ada kerjaannya sampai sempat-sempatnya mengamati langsung 'limbah pabriknya' itu?

"Lho, kan, kamu nanya, ya, aku jawab dengan sejelas-jelasnya. Kamu sendiri, kan, yang suka nasihatin kalau kasih penjelasan itu jangan setengah-setengah," sahut Kenzie santai. Ia lalu beralih pada lemari pakaian Sakha. "Kha, pinjam bajumu, dong."

Belum juga diiyakan, Sakha sudah melihat sepupunya itu mengacak-acak isi lemari pakaiannya. "Tinggal ambil baju paling atas napa? Aku nggak mau tahu, ya, kalau susunan baju-bajuku jadi berantakan. Kebiasaan kamu suka asal tarik aja kalau ambil baju." Sakha masih ingat nasib malang lemari pakaian Kenzie yang dalamnya sudah seperti campuran nasi urap. Ngeri tok.

"Nggak mau. Bajumu paling atas itu motifnya garis-garis hitam-kuning kayak tawon kesepian."

Ampun, deh. Sakha cuma bisa bergeleng-geleng kepala. Gini, nih, kalau punya sepupu yang tingkat keaktifannya mengalahkan balita yang lagi senang-senangnya memberantaki isi kamar. Di mana pun ada Kenzie, di situ juga tidak ada yang namanya sepi. Suasana calm and cozy yang selalu dibangun di dalam kamar Sakha dengan sekejap tersulap menjadi seramai pasar malam.

"Tapi awas, ya, kalau sedikit aja kamu bikin lemariku berantakan."

"Iya-iya, bawel," sahut Kenzie yang sudah sibuk menjelajahi isi lemari pakaian Sakha sambil mulai bergumam sendiri. Mengomentari baju ini dan itu semaunya sendiri. Sesekali mengomel tidak jelas ketika menemukan baju Sakha yang tidak sesuai seleranya. Sesekali menjerit heboh ketika ada yang sesuai seleranya, tetapi warnanya enggak banget. Dan jatuhnya mengomel tidak jelas lagi. Begitu seterusnya.

MemoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang