32. Pertemuan di Taman

1K 124 58
                                    

RISSA melipat mukena serta sajadah yang usai ia gunakan untuk salat Asar. Selanjutnya ia mulai bersiap menyiram tanaman-tanaman kesayangannya yang tumbuh berjejer di sekeliling balkon kamarnya. Kebiasaan yang dilakukan Rissa setiap pagi dan sore.

Di antara banyak koleksi tanamannya, tentu saja ada satu tanaman yang paling membuat wajah cewek tujuh belas tahun itu kini memancarkan senyum semringah. Ya, bunga verbena itu.

Bunga-bunga verbena hasil persemaian bibit yang salah satunya merupakan pemberian Sakha itu semakin tumbuh subur dari hari ke hari. Warna peach untuk bunga verbena Rissa dan warna ungu untuk bunga verbena Sakha. Rissa memang selalu rajin merawatnya. Di samping ia cukup menyukai kegiatan berkebun semacam ini, ia pun berharap verbena RISKHA-nya akan selalu bersemi seperti rasa cintanya pada Sakha.

Selesai menyiram semua tanamannya, Rissa mendengar ada bunyi keroncongan yang berasal dari rongga organ pencernaan makanannya. Ah, satu lagi kebiasaan Rissa setiap sore, perutnya sudah lagi-lagi merajuk lapar. Rissa mulai menimbang-nimbang jajanan apa yang sekiranya enak untuk mengganjal perut.

Aha! Bakso saja. Dan tentu saja pilihan Rissa jatuh pada baksonya Mas Parjo yang sudah terkenal paling enak di kompleks ini. Sayang, dari balkon kamarnya Rissa tidak melihat gerobak baksonya Mas Parjo lewat depan rumah. Namun, kalau tidak sedang berkeliling, biasanya gerobak bakso Mas Parjo suka mangkal di taman kompleks.

Sudah diputuskan, Rissa akan pergi ke taman kompleks. Cewek itu pun beringsut menuju lemari pakaiannya untuk ganti baju. Memilih-milih gamis yang simpel saja untuk dikenakannya, Rissa baru sadar kalau koleksi gamisnya selama ini jarang sekali ada yang ia sentuh. Cuma tergantung di lemari. Bahkan beberapa ada yang masih ditempeli label, pertanda belum pernah dikenakan sama sekali.

Benar, ternyata selama ini Rissa terlalu abai pada gamis-gamis yang dibelikan mamanya itu. Ia justru lebih senang mengenakan celana sebagai pakaian luar. Padahal ketika seorang muslimah melakukan safar atau keluar dari rumahnya, mengenakan gamis terusan maupun rok potongan jauh lebih aman menjaga aurat karena tidak menampakkan bentuk tubuh.

Tangan Rissa menggapai sebuah rok moscrepe panjang berwarna hijau pupus dari gantungan. Sejenak tertegun, kedua matanya membulat, lalu mengerjap terkesiap. Bukankah rok ini yang pernah dibelikan Kenzie saat di kebun binatang tempo lalu? Tidak hanya rok panjang, tetapi juga kerudung panjang, dan kaus longgar berlengan panjang.

Kalau dipikir-pikir waktu pergi ke kebun binatang dulu, Rissa hanya memakai setelan hem kotak-kotak, celana jeans ketat, dan kerudung tipis. Kalau tidak ada kejadian dirinya disemprot gajah, ia juga tidak mungkin mengganti bajunya yang masih memperlihatkan lekuk tubuh itu dengan baju pilihan Kenzie. Terlepas dari musibah akan selalu ada hikmah yang bisa diambil. Sekarang Rissa semakin yakin bahwa hijabnya itu mencerminkan identitas sejati seorang muslimah.

Rissa mengembalikan rok itu ke gantungan. Kini ia mengeluarkan sebuah gamis abu-abu dengan model sederhana dari kain balotelli yang berserat rapat, tebal, serta memiliki tekstur kotak-kotak kecil bergaris, tetapi terasa jatuh dan ringan saat dipakai. Sedangkan untuk penutup kepala, Rissa memilih khimar merah marun yang dikombinasikan rempel abu-abu di sekeliling bagian bawahnya. Bisban warna senada juga mengelilingi bagian pet khimar yang juga terdapat bordiran bertuliskan logo merek Hijab Shafira.

Rissa menatap puas hasil cocok-mencocok gamis dan khimar-nya di depan cermin. Ia beruntung punya khimar yang terlihat eye catching dan selaras dengan warna gamis abu-abunya.

MemoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang