"ARTINYA beasiswa saya dicabut, Pak?"
Pria bersetelan kemeja biru yang menjabat sebagai staf tata usaha bagian kesiswaan itu sudah menduga anak didik di hadapannya akan salah paham dengan maksud ucapannya barusan. "Bukan seperti itu maksud sepenuhnya." Pak Rahmawan menautkan kesepuluh jari tangannya di atas meja sembari menatap siswa bernama Erlangga Agmesdika Gemilang yang duduk tegang di hadapannya itu.
Erlang, panggilan akrab siswa itu mengernyitkan kedua alisnya. Pasalnya pagi-pagi sekali—bahkan sebelum Erlang sempat masuk ke kelas—ia sudah dipanggil Pak Rahmawan ketika tepat berpapasan dengan pegawai tata usaha itu di persimpangan koridor.
"Jadi sekolah baru saja menerima kabar duka bahwa donatur yang selama ini menyokong tujuh paket beasiswa di sekolah kita dinyatakan meninggal dunia beberapa hari lalu. Pihak ahli waris menolak melanjutkan dana beasiswa itu dengan alasan yang tidak ingin disebutkan. Dalam hal ini donatur dapat dikatakan mengundurkan diri. Memang dalam ketentuan pengunduran diri itu donatur wajib memberitahu jauh sebelumnya agar yayasan bisa mencarikan donatur pengganti. Tapi mengingat kondisinya berbeda, kita juga tidak bisa menuntut apa-apa. Sementara donatur tidak meninggalkan wasiat kepada ahli waris," terang Pak Rahmawan panjang lebar.
Melihat anak di hadapannya masih diam menyimak, Pak Rahmawan melanjutkan, "Seperti yang bapak bilang tadi, donatur selama ini menyokong tujuh paket beasiswa program pendidikan SMA Bina Karisma yang diberikan kepada tujuh siswa-siswi berprestasi secara akedemik maupun non-akademik. Empat di antara mereka sudah mendapatkan donatur pengganti. Satu orang terpaksa dicabut beasiswanya karena terbukti melakukan pelanggaran. Tinggal dua orang yang sedang pihak sekolah upayakan untuk secepatnya mendapatkan donatur baru. Salah satunya adalah kamu, Erlangga."
"Lalu ... saya harus bagaimana, Pak?" tanya Erlang mulai psimis.
Pak Rahmawan menarik map berwarna kuning di antara tumpukan map berbeda warna lainnya. "Kita sama-sama tahu kalau dana beasiswa akan masuk ke rekening siswa setiap triwulannya. Digunakan untuk membayar iuran sekolah, buku, seragam, dan praktikum sebagaimana kuartal laporan pertanggungjawabannya. Tapi kali ini dengan terpaksa harus bapak katakan kalau kamu mulai berjaga-jaga saja membayar biaya sekolahmu secara mandiri jika kamu masih ingin bersekolah di sini."
Bibir bawah Erlang tergigit. Rongga dadanya terasa hampa. Kata demi kata Pak Rahmawan yang masuk ke telinganya seakan berjubel memenuhi setiap jeluk labirin otaknya. Daftar rincian biaya sekolahnya di berkas map yang disodorkan Pak Rahmawan di atas meja semakin menambah pelik pikirannya. Tidak bisa dipercaya. Ia yang berhasil masuk SMA swasta bergengsi setara SMA Bina Karisma berkat beasiswa non-akademik, kini harus tersangkut ancaman tidak bisa melanjutkan program beasiswanya.
Membayar biaya sekolahnya sendiri? Bagaimana caranya? Erlang ingat bagaimana saat mulutnya membentuk gua hanya untuk mengetahui biaya SPP per tahun SMA elit itu yang nominalnya bahkan menembus tiga digit. Belum lagi dengan uang buku, seragam, serta praktikum yang tagihannya pun tak main-main.
Mahalnya uang belajar tak pelak mendongkrak citra SMA Bina Karisma menjadi sekolah bertaraf internasional, baik dari segi bonadifitas, infrastruktur, hingga kurikulum pendidikan dengan tentunya didukung tenaga pengajar profesional andal di dalam mata pelajaran yang diampunya. SMA Bina Karisma selalu menjadi pilihan populer para orang tua. Terlebih bagi mereka dari kalangan borjuis untuk bisa memasukkan anak-anak mereka dengan jaminan setiap lulusannya mampu secara prestisius meneruskan ke universitas mana saja mereka inginkan.
Stigma yang beredar dalam masyarakat pun menyebut-nyebut SMA Bina Karisma hanya diisi anak-anak konglomerat yang biasa bermandikan pundi-pundi emas. Namun, anggapan tersebut mendapat bantahan bahwa anak-anak berotak encer dengan segudang prestasi yang berasal dari keluarga kurang mampu juga tetap bisa masuk SMA Bina Karisma melalui program beasiswa.
KAMU SEDANG MEMBACA
Memory
Teen Fiction[COMPLETED] Young Adult | Religi | Romantic Comedy Apa pun keadaanmu, bisakah aku terus hidup dalam memorimu yang katamu sehebat ingatan gajah itu? _____ Mulanya Rissa si cewek tomboi itu benar-benar risi ketika harus mengubah penampilannya dengan b...