36. Dayyuts

1K 126 31
                                    

PENGAJIAN rutin Masjid Al-Islah ditutup dengan doa bersama yang dipimpin oleh Ustaz Hanif. Usai doa, satu per satu para jemaah mulai berduyun-duyun keluar masjid untuk pulang ke rumah masing-masing. Tak terkecuali Nona bersama neneknya yang baru saja keluar dari pintu barisan akhwat.

Tidak lantas pulang, sejenak Nek Ida—nenek Nona—ditepuk duluan oleh seorang wanita tua sepantarannya. Rupanya Nek Siti, tetangga mereka yang telah pindah karena diajak tinggal bersama anak dan menantunya di luar kota lantaran mereka tidak tega membiarkan Nek Siti tinggal sendirian setelah suaminya meninggal dunia.

Nek Ida dan Nek Siti saling bertegur sapa dan menanyakan kabar diri serta keluarga masing-masing setelah sekian lama tak bertemu. Nek Siti bercerita dirinya memang sengaja mengajak anak dan menantunya ke Semarang untuk menyekar ke makam suaminya. Tak disangka ketika Nek Siti ikut datang mendengarkan tausiah Ustaz Hanif, ia malah bertemu Nek Ida di tempat pengajian yang memang terbuka untuk umum tersebut.

Selagi menunggu kedua nenek-nenek yang masih asyik bercengkerama itu, Nona kepikiran membeli cilok dulu di seberang jalan depan masjid. Ia pun langsung menuju kerumunan di tempat pedagang cilok setelah meminta izin pada neneknya.

Antrean cilok lumayan ramai. Sepertinya Nona harus menunggu sampai tiba gilirannya. Kebanyakan mereka yang membeli cilok adalah anak-anak muda yang tadi ikut kajian juga.

Para jemaah yang hadir dalam pengajian memang kebanyakan dari kalangan orang tua, seperti bapak-bapak, ibu-ibu, sampai para lansia. Namun, dari kawula muda juga tidak bisa dikatakan sedikit. Mungkin semua itu pun tidak terlepas dari manajerial Irmas Al-Islah yang turut memberikan sumbangsih dalam mendukung kegiatan tholabul 'ilmi. Misalnya seperti memastikan tempat kajian sudah tertata dengan baik, bersih, serta kondusif, merancang dan mengatur tayangan proyektor sesuai materi dakwah yang disampaikan sehingga akan menambah pemahaman peserta kajian secara visualisasi. Terutama bagi generasi muda kekinian yang cenderung lebih senang memahami konteks dalam bahasa gambar.

Jelas utamanya yang tak kalah mengundang minat dalam pengajian tersebut adalah sosok Ustaz Hanif, selaku pemateri yang memiliki gaya bahasa santai dan ringan setiap menyampaikan tarbiah agama. Sesekali waktu, Ustaz Hanif mengisi tausiahnya lewat humor-humor islami nan sarat hikmah untuk sekadar mencairkan pikiran agar tidak terlalu spaneng. Pun, tak jarang Ustaz Hanif berbagi kisah-kisah inspiratif yang dikutip dari buku-buku spiritual terbitannya. Dengan kata lain, Ustaz Hanif selalu menempatkan kadar di mana harus bersikap serius maupun humoris sebagaimana mestinya.

Nona menoleh kaca pintu mobil yang tepat sedang parkir di dekat ia mengantre cilok. Iseng saja Nona lantas menjadikannya cermin untuk membenarkan letak pad khimar-nya yang ternyata sedikit menceng. Ia masih terpaku melihat pantulan bayangannya sendiri pada kaca reyben mobil tersebut. Di sana terlihat sosok dirinya yang sampai detik ini masih betah tidak menanggalkan busana muslimahnya.

Ya, baju muslimah berupa setelan gamis dan khimar serba panjang yang sebelumnya ia sempat sangsi akan memakainya saat menghadiri acara lamaran kakaknya, Mas Haidar. Waktu itu hampir-hampir saja ia ingin menggantinya dengan pakaian andalannya. Outfit ala Nona Jenahara yang tak jauh-jauh dari celana jeans dan kaus. Sekalipun harus pakai penutup kepala, cukuplah ia menyampirkan pashmina saja walaupun masih menampakkan rambut dan lehernya. Namun, waktu itu demi menghargai Mas Haidar, Nona bersedia memakai baju arahan kakak nomor tiganya itu.

"Nona!"

Seketika Nona menoleh asal suara yang memanggil namanya. "Eh, Erlang?"

"Sampai pangling aku, kirain siapa. Ternyata kamu, Non. Tadi kamu habis ikut kajian di sini juga, ya?" tanya Erlang.

"Iya, Lang. Nenekku ngajakin ke kajiannya Ustaz Hanif," sahut Nona.

Erlang mengangguk-angguk. "Terus nenekmu di mana?" Kepalanya celingukan mencari-cari keberadaan Nek Ida.

MemoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang