SUDAH hampir satu jam Rissa hanya duduk diam sambil menatap jemu kegiatan family gathering di rumah sakit tempat mamanya bekerja. Kalau boleh jujur, Rissa sebenarnya malas ikut mamanya ke acara itu. Ia lebih senang bermain gasing, kelereng, atau kedebong pisang bersama sekumpulan anak laki-laki dari kampung sebelah. Rissa yang tomboi memang jarang punya teman perempuan sepantarannya.
Akan tetapi, karena hari ini mamanya memaksa Rissa ikut ke acara family gathering dalam rangka memperingati dies natalis rumah sakit itu, jadinya Rissa gagal tanding gasing sama Ucrit. Parahnya, ia mesti mengenakan dress berwarna merah dan jepit mawar di rambut pendeknya yang menurutnya sangat norak itu.
Saat ini Rissa tengah menelepon papanya yang masih berada di luar negeri. Ia mengadukan penderitaan saat pipinya yang apes kena serangan cubitan gemas rekan-rekan kerja mamanya. Ia juga mengeluh bosan karena tidak ada teman. Memang, sih, rekan-rekan kerja mamanya yang sesama dokter juga ada yang membawa anak. Namun, tetap saja mereka tidak seasyik teman-teman satu gengnya.
"Ih, kok Papa malah ketawa!" rajuk Rissa yang justru mendengar suara tawa papanya di seberang. "Ica bete banget nih, Pa. Ica mau pulang."
"Iya-iya, Sayang. Tapi kamu bersabar sedikit lagi, ya. Kasihan mama kalau kamu minta pulang sekarang. Padahal acaranya kan belum selesai."
"Tapi, Pa ...."
"Hayo, anak papa nggak boleh manja gitu, ah. Atau nanti papa nggak jadi, lho, ya, beliin kamu robot-robotan Gundam seperti pesanan kamu."
"Yah, kok gitu, sih, Pa. Iya, deh, Ica mau di sini dulu nemenin mama."
Rissa menutup teleponnya dengan hati setengah dongkol. Uh, papa dan mamanya memang sama saja.
Sudah dua hari ini papanya berada di Odaiba, Jepang untuk perjalanan bisnis. Di Odaiba, ada pusat perbelanjaan yang bernama Divercity Tokyo Plaza yang menyediakan aneka macam wisata kuliner serta suvenir dan merchandise anime, khususnya Gundam.
Rissa paling senang saat papanya mengajak berlibur ke Odaiba. Di sana ia juga bisa melihat pertunjukan teatrikal robot Gundam raksasa yang bisa bergerak dan mengeluarkan asap. Tidak seperti kebanyakan anak perempuan yang menyukai boneka Barbie, Rissa justru lebih suka bermain robot-robotan. Ia sudah membayangkan mau memamerkan oleh-oleh merchandise Gundam dari papanya itu ke geng teman laki-lakinya.
Berupaya mengusir rasa bosan, Rissa akhirnya memutuskan pergi jalan-jalan ke taman rumah sakit. Gadis kecil itu menemukan sebuah taman yang cukup unik menyita perhatiannya. Taman itu dikenal dengan nama Taman Haruka. Taman yang juga merupakan ruang publik terbuka hijau terluas di lingkungan Rumah Sakit Universitas Lentera Diwangtara. Sesuai namanya, taman tersebut sengaja didesain ala Jepang yang identik dengan pancuran air dari bambu serta jembatan melengkung yang di bawahnya mengalir sungai kecil buatan berisikan ikan-ikan koi.
Di salah satu sudut taman, Rissa menemukan sebuah area bermain anak. Rissa langsung tertarik menaiki ayunan yang ditemukannya kosong. Bosan bermain ayunan, Rissa bermaksud turun dan menjajal permainan lainnya. Namun, dasar Rissa yang memiliki tubuh kecil, kedua kakinya terlalu pendek untuk menggapai tanah. Mau tidak mau, ia harus turun dengan cara meloncat. Akan tetapi ....
Nahas, pendaratannya tidak sempurna. Rissa jatuh dengan posisi yang cukup tidak mengenakkan.
"Kamu baik-baik aja?"
Kepala Rissa mendongak ke asal suara itu. Pandangannya agak silau karena terik matahari sore yang menyorot mata. Namun, Rissa tahu benar siluet anak laki-laki yang membelakangi terik matahari dan yang membungkuk di hadapannya itu adalah pemilik suara barusan.
"Bisa berdiri?" Anak laki-laki itu kembali bertanya.
Rissa mengangguk, lalu mencoba berdiri meski sempat meringis. Lutut kanannya sedikit tergores.
"Ini. Pakai plester ini buat ngobatin lukamu."
Rissa menerima plester yang disodorkan anak laki-laki berusia kira-kira sepantaran dirinya itu. "Makasih."
"Sama-sama." Anak laki-laki itu tersenyum. "Oh, ya, namamu siapa?"
"Namaku ... Ica. Kalau namamu?"
"Ava!"
Bukan anak laki-laki itu yang menyahut. Panggilan itu diserukan oleh seorang anak laki-laki lain berambut cepak yang berdiri di kejauhan. Rissa bisa melihat anak laki-laki yang dipanggil Ava oleh temannya itu melambaikan tangan, tanda kalau ia akan menyusul sebentar lagi.
"Aku pergi dulu, ya," pamit Ava sebelum berlari menghampiri temannya.
"Ava. Jadi namanya Ava," gumam Rissa seraya menatap punggung Ava yang semakin menjauh. Tatapannya lalu berpindah pada plester pemberian Ava diiringi senyum yang tercetak di bibir mungilnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Memory
Teen Fiction[COMPLETED] Young Adult | Religi | Romantic Comedy Apa pun keadaanmu, bisakah aku terus hidup dalam memorimu yang katamu sehebat ingatan gajah itu? _____ Mulanya Rissa si cewek tomboi itu benar-benar risi ketika harus mengubah penampilannya dengan b...