#Rabu_GerhanaBulanWLI

10 2 0
                                    


Hari ini, Wattpad Lovers Indonesia memberikan tema berupa 'Gerhana Bulan'. Karya tulis di bagian ini ditulis dan dipertanggung jawabkan oleh penulisnya di grup Wattpad Lovers Indonesia.

Untuk kamu yang belum 'Join' ayo buruan gabung bersama kami di Facebook, dan untuk kamu yang mengikuti Daily Writter. Semangat yak! :)

--

1. Yosi Yopita Sari -- yosisari23

Malam penuh bintang, cahaya bulan seakan pelita dikala malam hari. Aku tertatih melewati semak-semak belukar yang menghadang jalan.

"Cari Tia!"

Kakiku semakin cepat melangkah, badanku tak ingin berhenti bernapas kasar. Kurasakan cahaya bulan semakin redup dan suara orang-orang itu telah menghilang. Kuhentikan langkahku dan berdiri dengan energi seadanya.

Kulirik ke arah bulan yang semakin tertelan dengan cahaya merah. Tubuhku semakin bergemetar saat menyaksikan gerhana bulan merah darah kali ini. Mungkin karena kabur dari rumah dan dikejar oleh anak buah ayah yang menjadi alasannya.

Namun, semua itu terpatahkan. Semuanya salah. Tepat saat bulan putih menjadi merah. Cahaya terang menjadi cahaya kemerahan. Dan, itu semua karena melihat sosok pria asing di depanku. Dengan matanya yang memerah padam, menatapku seakan aku ini makanan langkah.

"Siapa kamu?"

Pria itu kembali melangkah, mendekatiku tanpa henti. Entah kenapa hati ini merasa tenang tapi, ketakutan.

"Aku ..."

Ia menarik punggungku. Meneliti setiap inci wajahku. Deru napasnya harum dan sangat berbeda dari pria lainnya. Aku yakin dia bukanlah orang biasa.

"Aku adalah matemu."

--

2. Ypsilon E --

buku menemukan gerhana bulan terjebak di sumur tua dekat rumah. Warnanya hijau oleh lumut dan sedikit gelap tanpa lampu. Ibu menyukainya, tentu saja. Dia ingin aku memiliki satu, jadi dibelahnya lingkaran cahaya menjadi dua sama besar. Namun gerhana itu malah goyang, bergelombang oleh riak dan cincinnya pun pudar digantikan warna putih susu yang berpendar. Meski begitu Ibuku tetap berkeras. Dia rengkuh bulan yang masih separuh tertutup itu, lalu memutuskan berteman dengannya di langit malam untuk waktu yang tidak berhingga lamanya.

310118

--

3. Enhy Nhyy -- Rhuekaara

-LINGKARAN MERAH-

Indah ....

Itu kata pertama yang aku ucapkan saat pertama kali melihatnya. Menghiasi langit malam dengan anggunnya. Cahayanya begitu lembut dan mampu membuatku terhanyut seketika. Cahaya putih yang begitu menenangkan yang tak pernah lagi kutemui selama empat tahun terakhir, kini tertupi bayangan hitam dan membuatnya terlihat membias kemerahan. Bulan itu nampak sendu namun indah. Tapi anehnya, setiap kali aku melihatnya aku selalu mengantuk, hingga membuat mataku kadang terlihat sembab. Efek terlalu tenang, mungkin.
"Wulan, apa kau di luar?"
Seketika aku tersadar dari lamunanku. Oh, terima kasih Ayah! Untuk kesekian kalinya kau membangunkanku dari mimpi buruk yang hampir saja menimpaku lagi. Ya, itu adalah panggilan Ayahku. Seseorang yang sudah aku anggap sebagai malaikat pelindungku selama empat tahun ini.
"Iya, Ayah! Aku akan masuk sebentar lagi."
"Cepatlah! Ini sudah malam dan cuacanya sangat dingin. Ayah tidak mau putri Ayah satu-satunya sakit."
Aku tidak menjawabnya lagi. Aku masih ingin di sini menikmati indahnya purnama. Namun, hati kecilku mengatakan untuk segera masuk ke dalam rumah sesuai perintah Ayah. Terkadang Aku merasa Ayah terlalu protektif padaku, meski pun Aku sadar itu adalah bentuk perhatiannya padaku tapi tetap saja menurutku berlebihan.
Aku pernah bertanya padanya tentang sikapnya yang berubah drastis selama empat tahun ini. Namun ia tidak pernah menjawabnya dengan jawaban yang menurutku tepat. Ayah hanya mengatakan bahwa semua itu hanya untuk menjagaku.
Ayah ...
Mengapa kau tidak jujur saja padaku? Ini sudah empat tahun, bukan lagi waktu yang singkat untuk terus menyembunyikan alasannya. Usiaku pun sudah menginjak 17 tahun, sudah cukup dewasa untuk mengetahui alasan sebenarnya.
Kepalaku hampir pecah rasanya tiap kali mengingat kejadian empat tahun yang lalu. Peristiwa yang telah menjungkir balikkan duniaku hingga akhirnya aku tak lagi mengenal apa itu bahagia. Senyum selalu terukir di wajahku, namun tatapan mataku kosong. Aku tertawa seakan tanpa beban sedikit pun, namun hatiku menjerit teriakkan luka yang tak mampu aku sembuhkan.
Empat tahun yang lalu ....
Prang!
Aku seketika terbangun dari tidurku saat mendengar suara kaca yang pecah. 'Kenapa berisik sekali?' batinku. 'Ah, mungkin itu hanya suara vas yang disenggol kucing' Aku pun kembali mencoba melanjutkan tidurku.
"Apa yang kau lakukan?! Bagaiman jika bulan mendengarnya?"
Oh, tidak! Itu suara Ayahku. Aku pun kembali terjaga, terkejut karena untuk pertama kalinya mendengar Ayah berteriak marah.
"Aku tidak peduli! Biarkan saja dia bangun, Aku tidak peduli!"
Apa itu Ibu? Pikiranku kini penuh akan tanda tanya. Apa Ayah dan Ibu bertengkar? Tapi selama ini mereka selalu terlihat tenang di depanku. Lalu apa yang terjadi?
Rasa penasaran membuatku beranjak dari tempat tidurku. Dengan langkah gontai aku berjalan mendekati pintu, pelan-pelan memutar knop yang tampak berkarat itu. Aku ragu, tapi dengan rasa penasaran yang besar dan sedikit keberanian yang tersisa Aku pun membuka pintu itu.
Aku benar-benar terkejut. Tenggorokanku rasanya tercekal, mataku mulai panas dan berkaca-kaca melihat pemandangan di depanku. Batu besar seolah menimpaku tiba-tiba. Membuat duniaku hancur seketika. Di hadapanku kini Aku melihat orang tuaku bertengkar hebat, ruang keluarga yang setiap hari selalu terasa hangat oleh tawa kami kini lebih terlihat seperti kapal pecah. Pecahan kaca bertebaran di mana-mana, entah siapa yang melemparnya.
"Kau! Apa kau tidak kasihan pada Wulan, hah?!
"Kenapa aku harus kasihan?! Dia bukan keinginanku. Dia hanya anak yang lahir karena sebuah kecelakaan. Aku lelah hidup miskin bersamamu. Kita cerai!"
"Apa katamu?!"
"KITA C-E-R-A-I! Apa masih kurang jelas?! Aku akan mengurusnya dan mengirimkan surat-suratnya padamu untuk kau tanda tangani. Jangan halangi Aku!"
Air mataku tak mampu kubendung lagi. Kakiku seakan goyah. Aku duduk tersungkur di lantai kamarku, menangis sejadi-jadinya.
Bodoh!
Jika saja Aku tidak penasaran. Jika saja aku tidak membuka pintu kamarku. Jika saja aku tidak pernah dilahirkan. Tangisanku semakin menjadi tak kala kulihat Ibu melangkah keluar rumah dengan tas besar yang menggantung di lengannya. Apa Ibu akan pergi meninggalkanku?
"Ibu!"
Aku berteriak memanggil Ibu yang sontak membuat kedua orang tuaku terkejut dengan kehadiranku. Air mataku tak berhenti mengalir saat aku berlari mengejar Ibu yang akan meninggalkan rumah. Tanganku bergetar ketika meraih tangannya mencegahnya untuk pergi. Namun, dengan kasar ia menepis tanganku hingga aku terjatuh ke lantai.
"Jangan menyentuhku!"
Hatiku seakan remuk mendapati Ibu yang memandangku dengan tatapan jijik. Apa salahku? Aku terus menangis mencoba kembali meraih tangannya yang selalu ditepisnya dan membuatku jatuh berkali-kali. Umpatan yang menyayat hatiku tak hentinya ia lontarkan. Apa aku sehina itu di matamu, Ibu?!
Aku mencoba mengejarnya namun Ayah memegangku, memeluk tubuhku dengan erat. Sesaat kurasakan air matanya mengalir namun dengan cepat dihapusnya. Dengan air mata membasahi wajah, kutatap Ibuku yang melangkah menjauh meniggalkanku dan Ayah. Di malam yang gelap dengan gerhana merah ia pergi meninggalkanku tanpa sedikit pun menoleh ke arahku. Menorehkan ribuan luka yang mengikis hatiku sedikit demi sedikit. Menghancurkannya hingga menjadi kepingan-kepingan yang takkan disatukan lagi. Hatiku hancur, aku benar-benar terluka.
Satu minggu sudah Ibu meninggalkanku dan Ayah. Keadaan kami benar-benar kacau, Aku demam parah dan harus dirawat di rumah sakit karena shock. Sementara Ayah, keadaannya jauh lebih miris dariku. Setiap hari ia bekerja hingga malam dan pulang dalam keadaan mabuk. Tuhan, sungguh berat cobaanmu.
Kemudian di suatu malam, kami mendapat berita. Awalnya aku harap itu berita baik mengenai kembalinya Ibuku, namun segalanya pupus ketika polisi mengatakan bahwa pesawat yang ditumpangi Ibu mengalami kecelakaan dan jasadnya belum ditemukan. Tangisku pecah seketika, aku meraung pedih dalam pelukan Ayah. Di malam itu juga untuk pertama kalinya kulihat Ayah menangis, ia benar-benar menangis. Kulihat duka dan sesal di matanya. Tuhan, mengapa engkau menjauhkan kami dari Ibu? Dan sekarang engkau pun berniat mengambilnya dari kami. Apa diriku sebegitu tidak diharapkan hingga semuanya menjauh dariku?!
Empat tahun Aku dan Ayah mencoba bangkit dari duka yang menimpa, namun kami tak pernah bisa benar-benar keluar dari luka yang sudah mendarah daging dalam diri kami. Hidup kami memang sudah berkecukupan saat ini, namun Ibu telah tiada. Wajah Ibuku kini dihiasi dengan lingkaran merah di setiap fotonya. Tersebar di setiap jalan dan sudut-sudut kota, mencari petunjuk keberadaannya. Bagaimana keadaan Ibu sekarang? Aku pun tak mengetahuinya.
Apa ini makna dari gerhana? Menutupi bulan dengan bayangan namun tetap terlihat indah tanpa menyadari bahwa sesuatu bersembunyi di balik sana entah itu suka atau pun duka. Dan aku pun sadar, puncak gerhana bulan selalu hitam.
Kutatap langit malam ....
Bulan kini semakin memerah, tertelan oleh bayangan bumi. Sinar lembut itu semakin sayu dan akhirnya pudar, menggelap bersama malam yang kian larut.
Air mataku kembali menetes, membanjiri wajahku yang kini nampak lelah dan sembab. Ibu, kau di mana sekarang? Apa kau masih bersama kami di sini? Ataukah Tuhan benar-benar telah mengambilmu dariku dan Ayah. Kumohon siapa pun, bangunkan Aku dari mimpi buruk ini. Kumohon, biarkan gerhana ini segera berlalu biarkan bulan putih kembali menghiburku. Aku takut, aku takut dengan gelapnya gerhana. Merahnya seakan ingin menelanku, menyiramiku dengan darah dari lukaku dan menenggelamkanku ke dalam bayangan hitamnya. Kau di mana, Ibu? Aku merindukanmu ....

--



The Daily Writer WLITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang