Met malem Senin!
Ayo, move on dari Daegu, kita kembali ke Hogwarts!
・・
Bagi Park Jimin; si perfect prefek dari asrama Slytherin, hubungan itu rumit.
Rumit. Merepotkan. Sesuatu yang menurutnya tidak penting karena yah, kembali lagi, itu merepotkan.
Bagi Park Jimin sendiri—melepas status prefek yang disandangnya—dan kilas balik jauh lama sekali ke masa dimana ia belum resmi menyandang status sebagai siswa Hogwarts, masalah romansa itu tidak pernah menjadi batu loncatan yang terlampau tinggi untuk diraih.
Adalah sebuah keharusan yang mutlak adanya bagi garis keturunan Slytherin; atau Park dalam kasus ini, untuk menjadi seorang individu yang sempurna, sulit diraih, juga memiliki standar di atas rata-rata.
Park Jimin memiliki semuanya.
Nilai akademis dan kemampuan fisiknya di atas rata-rata. Seluruh guru mengaguminya, dan seluruh siswa baik laki maupun perempuan menjadi pemujanya.
Adalah suatu ritual yang biasa kala tiap pagi para siswa akan berbaris berbondong-bondong hanya untuk mendapatkan sekilas penampakannya. Dan mendapat seulas senyum itu merupakan suatu keberuntungan yang tidak memiliki kesempatan kedua.
Sempurna.
Satu kata yang sudah lebih dari cukup untuk menjabarkan dengan jelas siapa Park Jeremiah Jimin.
Dan apabila standar itu sudah dicapai, siapa yang butuh tembok penghalang dari menjadi nomor satu seperti romansa?
Rubah semuanya.
Ulangi, rubah.
Karena seluruh prinsip bahwa romansa itu hanyalah tembok penghalang itu seketika menghilang di detik dimana seorang Jeremiah Park baru keluar dari ruangan kelas Herbology di tahun pertama.
“Sialan, sejauh ini, memang benar kalau dia yang paling cantik,”
“Siapa?”
“Itu, anak tahun ke-empat dari Ravenclaw.”
Dan Park Jimin ikut menoleh ke arah yang ditunjuk oleh salah seorang siswa Hufflepuff; yang belakangan ia ketahui bernama Jongin.
Dimana kemudian pandangannya terjatuh dari seorang pemuda. Berjalan dengan tegap juga dagu yang terangkat angkuh.
Kulitnya putih sekali. Saking putihnya terlihat seolah ia membiaskan kembali cahaya matahari yang mengintip dari sela jendela lorong kastil.
“Ah, biasa saja.” Kim Taehyung menyeletuk disini. Menguap bosan sembari menggaruk perut, “Pucat begitu seperti mayat saja. Apa cantiknya?”
“Mayat kepalamu,” si Jongin menusuk rusuknya dengan siku, “Pakai perumpamaan yang lebih bagus. Putih salju misalnya?”
“Yea, right. Sejak kapan putih salju itu seorang laki-laki?”
"Selama dia cantik, mau laki atau perempuan tidak masalah."
KAMU SEDANG MEMBACA
Platform 2¹/6 ㅡvkook
FanfictionBercerita tentang Kim Taehyung, si singa idiot Gryffindor. Dan usahanya dalam mendapatkan cinta dari si ular kecil asrama Slytherin.