.
.
"Hah?! Jadi si cecunguk itu ngurungin lo dalem toilet cewek?!" Jerit Marshel.
"Jahat banget." Kritik Ria.
"Untung lo nggak mati." Ucap Nina turut prihatin dan menepuk bahu Andina. Dan Andina memberinya pelototan tajam.
"Apa maksudnya gue gak mati? Lo mau gue mati?!" Segak Andina dengan percikan api kemarahan dikedua mata-nya.
"Ampun..Ehe.."
"Untung..ada Satria." Legah Chintiya dan tersenyum, membuat Satria sedikit terkekeh.
"Ohya, kata-nya sekolah mau ngadain kemah tuh. Kelas 10 dan 11 wajib ikutan." Ujar Ria setelah melihat handphone-nya.
"Lo tau dari mana, Ri?" Tanya Andina penasaran.
"Grup pramuka, ketua-nya kak Petra. Dia barusan ngumumin."
"Oh..kak Petra yang ganteng rambut blonde dan keturunan bule itu ya? Ditambah kulitnya yang eksotis oleh kegiatan pramuka disiang, dan sore, dia pasti tambah keliatan macho, ganteng---" Jelas Nina sambil berandai-andai dan mengedip-ngedipkan bulu mata-nya.
Marshel berdeham keras.
"Ingat cowok cina."Setelahnya, Nina tersadar lalu terdiam. Ria melanjutkan pembicaraannya,
"Berdasarkan informasi disini, kemah-nya berlangsung satu hari dihutan deket perbukitan. Sudahnya, dua hari nginep di villa dekat bukit itu juga buat kegiatan mendaki. Hari keempat-nya, pulang. Gue kira ini terlalu berat, apalagi yang fisik-nya lemah. Apa gakpapa ya?""Iya, juga sih. Gue gak yakin. Apalagi kalo orangnya kayak Chintiya dan Nabila ikutan. Dan masih juga banyak murid lain yang pastinya fisiknya lemah." Ujar Andina.
"Eh, iya ya. Gimana donk? Masak mau ngebantah atau nge-nolak pernyataan kak Petra? Kan gak enak." Ucap Ria lalu menaruh handphone-nya lagi keatas nakas disitu.
"Kayaknya gapapa, asal sedia obat-obatan sama siap tim medis." Tiba-tiba Chintiya berbicara.
"Ohya, gue lupa ada ketua UKS. Haha.." Ucap Ria meledek, namun sebenarnya ia bercanda.
"Tapi..lo yakin bisa? Penyakit lo itu trauma. Trauma kalo ndenger suara pecahan, ngehirup asap rokok. Apa gakpapa?" Tanya Marshel.
Chintiya tersenyum yakin,
"Iya, yakin deh, gue gak akan apa-apa. Kan gue ada kalian."Tiba-tiba hening, namun Andina memecahkan keheningan.
"Apaan sih Chin! Lebay amat!" Kekeh Andina..
.
Anggia menghampiri Vina, Riko, dan Alan yang terlihat sedang membicarakan sesuatu disalah meja kantin rumah sakit. Tak selang berapa lama, Vina menghela nafas, berdiri dan pergi dari meja itu. Saat berpas-pasan dengan Anggia, Vina hanya diam saja, melirik sekilas, lalu melanjutkan jalannya pergi meninggalkan tempat itu.
Pasti ada sesuatu, pikir Anggia. Anggia menghampiri dua cowok yang masih diam dimeja itu, Anggia ikut duduk dan meminum salah minuman diatas meja entah itu punya siapa.
"Itu punyaku." Ucap Kak Alan namun, Anggia tak peduli dan terus meminumnya. Setelah tersedot habis, Anggia menyodongkan badannya kedepan, terlihat seperti ingin memulai sebuah pembicaraan.
"Pertama, gue mau tanya dulu, Vina tadi kenapa?" Tanya Anggia.
Mereka diam. Ceritanya terlalu panjang dan rumit untuk diceritakan. Anggia takkan mengerti.
"Ceritanya panjang." Jawab Alan.
"Sepanjang apapun, cerita-in."
.
.
Vina duduk disalah ayunan taman rumah sakit, ia mengayunnya perlahan sambil memandangi sepatunya. Vina tak percaya ini, Alan menceritakan semuanya.
Awalnya, Vina hanya menanyakan soal kenapa Chintiya tiba-tiba traumanya kambuh. Namun, tak lama Alan menceritakan semuanya.
Dulu, Alan, Riko, dan Chintiya adalah sahabat kecil. Alan, sebagai yang tertua diantara situ. Alan benar-benar tak sadar bahwa ia sudah biasa bersama Chintiya, tapi ia pernah menyatakan perasaan ke Vina, sehingga suatu saat Vina juga suka dengan Alan. Pada waktu itu, ada alasan mengapa Alan harus pindah sekolah, berpisah dalam waktu lama namun dihari perpisahan, berjanji dengan kata, 'Together, Forever'.
Selang tak lama, Vina bahagia, bahwa ternyata Alan merupakan salah kakak kelas di SMA baru-nya. Namun, mereka belum sempat pernah bicara karena Alan selalu bersama teman-temannya.
Dan ia percaya, bahwa Alan masih berada diperasaan yang sama. Tapi Vina salah, Alan sadar bahwa selama ini ia hanya nyaman didekat Chintiya, dengan alasan bahwa dulu ia terlalu labil untuk menyatakan perasaan ke Vina.
Vina kecewa.
Lain hal, Chintiya menyukai orang seperti Riko. Karena ia terbiasa dengan Riko yang seumuran dengannya, Chintiya menyukainya.
Dan apa ini? Seolah-olah Vina tak masuk didalam cerita itu. Tak dianggap. Perasaannya hancur.
Tak lama Anggia datang dan duduk juga disalah ayunan samping Vina, namun terpisah.
Anggia mengayunkannya sedikit, sembari memperhatikan Vina yang melamun mengarah kerumput basah dibawahnya."Vina." Panggil Anggia.
Vina menoleh, dan berusaha tersenyum. Tapi ia tak bisa mengendalikan rautnya, matanya mulai memerah.
"Menangislah, nggak ada yang ngelarang."
Vina memudarkan senyumnya dan menunduk, terisak pelan, dan tangannya tak sudah sudah menghapus air mata yang mengalir. Ia sakit.
Anggia menatap langit yang menurut-nya sedikit mendung dan akan menurunkan hujan.
"Vina, hidup itu gak sesuai kemauan lo. Lo harus ngejalaninnya dengan percaya, perasaan, dengan diri lo sendiri, bukan orang lain. Jangan ngehancurin hidup lo sendiri gegara orang lain."
"Cerita lo lumayan rumit. Tapi gue cuma bisa ngasih satu saran."
Anggia menghela nafas pelan,
"Berubahlah kalo lo pengen situasi lo yang sekarang berubah. Mulai dari awal, atau sesuatu yang baru."Vina masih terisak.
"Banyak orang ngehargain lo, keberadaan lo dianggap. Jangan cuma satu orang yang nganggap remeh perasaan lo, lo jadi kayak gini. Keberadaan sahabat, orang tua, teman, kerabat lo kayak mana? Hargain kami juga yang selalu ndukung lo."
"Janji itu hasilnya bisa baik, bisa pahit. Lo harus tau itu. Gak semuanya bisa ditepati. Munafik itu lebih dominan dikehidupan. Hidup itu kejam untuk akhir yang bahagia."
Vina mengangkat sedikit kepala-nya menghadap ke-arah Anggia, menampilkan raut mata sembab dan bibir yang bergetar. Dengan suara yang sedikit serak, ia berusaha berbicara.
"Gue bisa bahagia kan, Ngi? Selama ini gue cuma nungguin janji yang gak bener-bener di-tepati. Tapi lo bisa kan..jan..janjiin gue bisa hidup bahagia?"
Anggia turun dari ayunannya, berdiri dihadapan Vina, memegangi bahunya. Ia tersenyum miring,
"Gue muak liat cewek nangis. Gue udah lama nggak bully orang lagi, dulu gue gak bosen liat orang nangis. Tapi sekarang, gue muak, benci liat orang nangis. Gue gak mau sakitin orang lagi.""Jadi berhenti nangis, buang pikiran lo jauh-jauh, senyum."
Vina melongo bingung.
"Kalo gak mau, gue suruh lo keliling lapangan bola 10 kali." Tegas Anggia.
Vina tertawa kecil dan tiba-tiba berdiri tegak dan memeluk Anggia,
"Makasih!"Anggia mengerutkan dahinya,
"Vi..vina lo gak seneng sama yang sejenis kan?"Vina sontak melepaskan pelukannya dan memukul bahu Anggia, walaupun ia tahu pasti Anggia tahan pukul.
"Nggak lah!" Kesal Vina..
.

KAMU SEDANG MEMBACA
Eight✔
ChickLit[Apapun masalahnya, apapun keadaannya, kita akan selalu bersama dan saling mendukung satu sama lain -Eight, 26 Sep 2016-] Sahabat, musuh, perselisihan, masalah, trauma, cemburu, cinta sudah biasa disini. Saling menasihati, memotivasi sesama adalah k...