[43.Brother]

13 3 0
                                    

***

Keadaan suasana didalam bis 4 itu hening. Tak ada satupun yang mengeluarkan suara, langit sudah menggelapkan dirinya. Ada yang tidur, memainkan ponsel, dan ada juga yang mendengarkan musik lewat earphone, menikmati tiap sudut jalanan gelap tersebut.

Andina menghela nafasnya, ia mengigit bibirnya sendiri. Pikirannya sudah melayang entah kemana kesetiap sudut permasalahannya. Ia sudah menceritakan semuanya kepada mereka. Semua soal tekanan dalam hidupnya.

Andina mendapat tawaran dari keluarga ibunya untuk pindah sekolah, Andina hampir sepenuhnya menyetujuinya. Karena disini, ia selalu mendapat tekanan keras dari sang ayah dirumah. Ia harus belajar, dan harus selalu mendapat peringkat yang besar. Padahal dengan otak-nya yang pas pas-an tentu saja hal itu akan terjadi dengan kemungkinan yang kecil. Yang ia inginkan hanya menyanyi. Dan kebetulan sekolah yang ditawarkan berkaitan dengan seni.

Ia semakin ingin dekat dengan cita cita yang lebih ia inginkan. Ia lebih memilih menjadi produser musik dibandingan professor. Ia hanya ingin membenarkan keinginannya.

Tapi disini...ada sahabat-sahabatnya. Ia merasa nyaman berteman dengan mereka dibanding yang lain, mereka yang lebih mengerti akan dirinya dibandingkan dirinya sendiri.

Andina menggeleng kepalanya kuat, ia akan bertahan semampunya. Ia ingin bertahan disini bersama dengan yang lainnya walau ia harus mendapat tekanan dari sang ayah tanpa henti. Ini semua hanya demi persahabatannya.

.

.

Seorang gadis beralis tebal menghela nafas panjang setelah perjalanan pulang yang panjang dan melelahkan dimalam hari. Ia membuka pintu rumahnya seraya sambil mengangkut tas-tasnya. Seperti biasa, rumah itu gelap dam sepi, serta sunyi. Sangat berbeda dengan tahun tahun yang lalu, dimana keluarganya masih bersamanya dan kakaknya.

Kakak..

Anggia segera berjalan keatas tangga dan membuka kamarnya. Kosong. Ia menghela nafas, entah kenapa barusan ia memiliki firasat terdapat kakaknya didalam kamarnya ini. Anggia menaruh tas-tasnya disudut ruangan kamarnya.

Prangg

DEGHH

Sungguh, Anggia terkejut setengah mati mendengarnya. Seketika rasa kantuk yang ia simpan tadi hilang, dan rasa lelah tubuhnya juga hilang. Yang ia rasakan hanya lah detak jantung yang tak karuan.

Ia menuruni tangga dengan langkah yang perlahan lahan. Ia melihat beling itu berjatuhan berserakan didepan pintu dapur.

Melihat itu ingin rasanya jantungnya hampir copot, ia takut, ia mulai berpikir yang aneh aneh atau berlebihan seperti bisa saja itu maling atau orang asing yang seenaknya masuk kedalam rumahnya. Ia mulai melangkahkan kaki secara perlahan. Denyut jantungnya berdetak dengan sangat cepat. Ia sedikit mengintip dibalik dinding dapur, melihat siluet hitam seorang pria bertubuh tegap tengah memegangi kepalanya seraya menopang ke meja makan dengan tangan kirinya.

Betapa terkejutnya ia dengan apa yang ia lihat. Ia kembali melajukan langkahnya perlahan memasuki dapur, keringat dingin mulai keluar dari pelipisnya. Walau ia benci, kesal, tapi ia memiliki rasa sayang terhadapnya. Apalagi melihat keadaannya yang terlihat sakit, membuatnya semakin tak tega akan pendiriannya untuk terus diam.

"Kak..Angga.."




.

.

"Nina, siapa suruh kamu langsung ke kamar."

"Papi kusayang, Nina ini capek habis kemah tiga hari. Pengennya langsung bobok ke kamar."

"Duduk."

Eight✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang