[39.Devil]

16 4 0
                                        

***

Setiap sepuluh menit, kelompok boleh mulai berjalan menuju jalan yang ditentukan secara bergilir. Hal ini dilakukan agar setiap kelompok tidak saling bertemu dan tetap fokus ke kelompok-nya sendiri.

Mereka masing-masing memegangi senter, dan terlihat berjalan mengendap-endap. Walau lampu pijar sebagai pusat mereka untuk meneruskan langkah, merek tetap harus berjalan melambat untuk mengeceki satu satu pohon tersebut.

"Ah, ada nama Daniel." ujar Anggia senang, namun ia kesal karena itu bukan namanya. Ia kembali menelusuri pepohonan yang menjulang tinggi dalam kabut gelap tersebut.

Yang sudah berhasil mendapatkan namanya baru Marshel, Chintiya dan Vina. Yang lainnya mengerutu sebal karena cuma menemukan kertas milik orang lain. Lalu mereka dapat melihat sebuah posko, mereka menghela nafas legah karena akhirnya bisa lepas dari berkutat dengan hawa dingin dan pepohonan menyeramkan untuk sesaat.

"Oke, tiga dari kalian sudah mendapatkan kertas-nya, dan sisanya, sepertinya nama kalian memang tidak ada dan harus berlanjut berjalan untuk mencari nama kalian. Hati-hati." jelas orang tersebut dan mempersilahkan mereka berjalan kembali.

Mereka kembali berjalan, dan Ria menempati posisi paling belakang karena sangat teliti memperhatikan tiap pepohonan tersebut, sehingga tak memperhatikan lagi rombongannya. Dan rombongannya pun tidak tahu karena sibuk meneliti tiap pohon juga.

Hingga akhirnya Ria terjatuh, dan ia meringis pelan, ia memanggil yang lainnya, namun sepertinya ia ketinggalan jauh.

Selang beberapa detik sebuah semak-semak berbunyi dan ia mulai ketakutan. Saking takut-nya ia hampir tak bisa berdiri karena kakinya gemetaran, matanya memanas ingin menangis. Hawa dingin makin mencekam, ia semakin takut.

Jika ingin ditolong kelompok lain, ia harus menunggu sepuluh menit, tapi sepertinya bisa lebih dari sepuluh menit karena mereka harus melakukan pengecekan di posko pertama.

Ia menyilangkan tangannya sendiri seolah olah memeluk dirinya sendiri, ia merasa dingin, takut, dan mata-nya sudah mengeluarkan air mata yang deras.

Apalagi saat suara burung hantu terdengar ditelinganya, ia merasa semakin takut. Lampu pijar berikutnya masih lumayan jauh. Ia harus berjalan menggunakan senter.

Ia memaksakan dirinya untuk berdiri, namun ia kembali terjatuh, dan lukanya makin parah.

Ria memukul kakinya sendiri, kenapa kakinya terasa tak bisa digerakkan? Ia harus pergi dari sini.

Lampu senternya sedikit meredup.

"Jangan.." lirih Ria. Dan akhirnya lampu senter itu sepenuhnya mati. Kegelapan mengitarinya dan isakan tangisnya makin terdengar jelas.

Ia merasa sangat takut.

.

.

Seorang pria bertubuh tinggi berjalan bersama anggota kelompok-nya. Ia kaget saat mendengar sebuah tangisan.

"Eh..eh..gue denger sesuatu." ujar pria itu dan anggota lainnya berhenti melangkahkan kakinya.

"Gak lucu kalo ada kuntilanak nyasar disini yang lagi nyari anak." ujar salah satu temannya dengan nada suara berbisik.

"Hush, gak mungkin."

Pria itu perlahan lahan berjalan maju, entah kenapa jalan menuju posko kedua lampu pijarnya makin jarang saja. Menyeramkan.

Ia terus berjalan perlahan-lahan, dan diikuti teman-temannya.

Hingga akhirnya mereka semua kaget menjerit, kecuali pria bertubuh tinggi itu. Ia langsung menghampiri gadis itu dan memeluknya erat. Tak mau melepaskannya sedikitpun.

Eight✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang