[Epilogue]

59 4 3
                                        

[warning!]
more than 3000 words.

•••

Jam satu malam, ia duduk sendirian disebuah halte. Merasa kedinginan, jaketnya tak menutupi rasa dinginnya.

.

"Andina?"

"Lo ngapain disini?" tanya seorang gadis yang tengah memegang erat kantong asoy bertuliskan indomaret.

Andina hanya bisa terdiam, ia membuka hoodie jaketnya dan menutup rapat mulutnya. Gadis itu menghela nafas, lalu berjalan mendekat. Melihat Andina yang berpakaian yang sangat tertutup serta koper membuat gadis itu menaruh curiga.

"Lo mau pergi?"

Andina masih diam.

"Lo mau pergi kemana?"

Andina masih terdiam. Lalu tanpa sadar pandangannya sudah buram, tetes air mata itu turun perlahan. Nina bingung, dan tak tahu harus berbuat apa. Ia duduk disamping Andina dan berusaha menenangkannya.

"Hiks..hiks.."

"Lo napa sih, din?!" panik Nina.

"Maafin gue..hiks.."

Nina spontan memeluknya dan mengelus pelan punggungnya, berusaha menenangkannya. Nina yakin ada sesuatu yang tidak beres disini.

Setelah cukup tenang, Andina melepaskan pelukan tersebut dan menghapus kasar air matanya.
"Gue mau pergi. Ketempat yang jauh. Gue..gak mau disini. Gue menderita, nin. Gue gak mau."

Nina mengerti, Andina sudah menceritakan tentang hal ini.
"Din, dia ayah lo. Semarah apapun dia, sejahat apapaun dia, dia tetep ayah kandung lo."

"Nin, gue ditekan terus terusan tiap hari. Hidup gue merasa terancam, gue menderita. Walau kalian sahabat gue yang paling berharga dan banyak menghabiskan waktu dengan gue, tetep aja, kalian gak bisa ngerasain yang gue rasain. Gue rasanya mau mati."

Nian menghela nafas dengan pelan,
"Gue sering kabur dari rumah malem malem cuma untuk beli cemilan ke supermarket yang buka 24 jam. Itu jadi suatu kebiasaan sekarang. Dan beruntungnya, kebiasaan itu bisa menjadi faktor, supaya gue bisa ketemu lo."

Andina mengernyit heran.

"Apa jadinya besok kalo gue gak ketemu lo sekarang? Kita kita gak bakal tau kabar tentang lo. Lo bakal ngilang tanpa kabar. Lo pergi tanpa pamit. Ini namanya sahabat?" ujar Nina.

Andina terdiam dan menundukkan kepalanya.
"Gue tau..hiks..gue salah. Tapi nin..hiks..gue gak tahan lagi. Dan gue kira gue gak akan sempet ngabarin kalian..hiks..malam ini."

"Din, lo bisa hubungin kami besok." ujar Nina.

"Gak..handphone gue disita semenjak kemarin. Gue main handphone dikamar dengan damai, tapi ayah langsung masuk ke kamar gue sambil marah marah. Dia ngambil salah satu kertas ujian lama gue yang dapet nilai jelek, ujian itu sudah lama. Tapi dia marahnya sekarang, dan nampar gue. Sudahnya dia ngerampas handphone gue terus keluar kamar dengan membanting pintu.

"Hiks..Nin, gue tau gue bukan orang yang pintar dalam hal pelajaran, gue tau ayah bener bener pengen gue jadi orang yang sukses, tapi bukan ini yang gue inginkan. Gue pengen mengejar cita cita gue sendiri, mendalami kemampuan gue sendiri. Ayah selalu gak ndukung tiap gue les musik. Dia bahkan udah buang gitar yang baru gue beli pakek duit gue sendiri."

Andina menghapus air matanya kasar dan mencengkram kuat tangannya.
"Gue gak tahan, nin. Gue mau pergi dari sini. Gue tau ayah bermaksud baik, tapi sudah satu tahun lebih atau mungkin empat tahunan gue disepertiinikan. Gue selalu merasa tertekan tiap malem, gue selalu merasa terpaksa untuk belajar, dan bahkan memar diwajah gue ini udah banyak.

Eight✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang