.
.
Vina mengayunkan kedua kakinya pelan secara bergantian. Ia menghela nafas berat. Angin sayup-sayup di pagi hari minggu tersebut tak cukup mendinginkan hatinya yang sedang membara. Ia tak masuk-masuk sekolah karena malu.
Beberapa hari yang lalu setelah Anggia menasihatinya, ia belum pulang melainkan memberhentikan langkahnya didepan pintu kamar Chintiya. Ia berpikir, kenapa persahabatannya harus hancur gegara masalah se-sepele ini? Vina menggeleng kepala-nya kuat, ia yakin semuanya akan baik-baik saja pada waktunya.
Tak lama ia mendengar suara tawa yang pecah dari dalam kamar, Vina yakin itu sahabat-sahabatnya yang lain sedang tertawa bersama, dan juga Vina yakin Chintiya pasti saat ini sudah merasa baikan. Vina yang mendengarkannya turut bernapas legah.
Vina melanjutkan langkahnya, namun baru saja ia ingin ke keluar dari pintu rumah sakit tersebut, Riko menghadang jalannya dan tiba-tiba menawarkan untuk mengantarkannya pulang. Vina tak bisa menolak, toh ini sudah hampir kesorean, dan pasti ibu-nya khawatir untuk mencarinya.
Vina mengangguk. Namun, tiba-tiba Vina ingat bahwa ia memang membawa motor. Walaupun begitu, Riko tetap bersikeras untuk mengantarnya pulang. Takut terjadi apa-apa pada gadis itu karena itu amanah dari Chintiya. Vina mengerti, Chintiya, Walaupun ia sedang sakit, ia masih menghawatirkan sahabatnya ini.
Jadi pada akhirnya, Riko mengantar Vina pulang dengan motor Vina, dan setelahnya, Riko akan pulang dengan taksi. Vina jadi tak enak, dan merasa terbebani.
Jadi, ia menawarkan Riko untuk sekedar minum sebentar kerumahnya. Riko-pun hanya mengiyakan saja dan mulai memasuki rumah.
Riko memuji sedikit tentang rumahnya yang bernuansa baby pink dan peach. Paduan warna tersebut, membuat suasana rumah menjadi lebih nyaman.
Selang tak lama, hening kembali. Namun, Vina mulai berbicara bahwa ia tak begitu kecewa pada kak Alan. Toh, kak Alan memang tidak benar-benar ditakdirkan menyukai-nya.
Namun, respon Riko hanya tatapan santai lalu ia tertawa, membuat Vina bingung. Namun, disaat itu juga perasaannya jadi aneh lagi sama seperti saat itu. Hatinya berdesir. Apa mungkin ia sudah mulai menyukai seorang Riko?
Riko lalu berhenti tertawa, dan berkata,
"Jangan seperti itu. Mungkin, tuhan ingin lo menyukai orang yang nantinya akan benar-benar tulus menyukai lo. Toh, takdir selalu ada pada tuhan."Lagipula, hidup lo lucu juga ya. Apa bagus-nya kak Alan? Masih gantengan gue."
"Iya, masih gantengan Riko kok." Jawab Vina penuh meyakinkan serta antusias.
"Loh kenapa diem?" Tanya Vina.
Riko hanya menggeleng lalu beranjak berdiri, sesudahnya ia pamit pulang begitu saja. Setelah sadar, Vina merutuki dirinya sendiri. Kenapa juga ia memuji Riko seolah-olah ia benar-benar menyukai Riko?
Disisi lain, Riko-pun keluar dari rumah Vina dengan semburat merah di pipi-nya. Dan bergumam merutuki dirinya sendiri, kenapa gue salting sih? Lo gila Riko!
Semenjak itu, Vina tak ada niatan pergi ke-sekolah. Ia malu, bukan karena hubungan pertemanannya dengan Chintiya.
Dan terlebih lagi, akhir-akhir ini Vina suka membayangkan Riko yang tersenyum serta tertawa dihadapannya. Vina bisa gila."Vina! Ada temanmu yang datang! Cepat buka pintu-nya!"
"Iya mah!"
Vina sesegera mungkin beranjak berdiri dari kasurnya dan pergi keluar. Mengecek siapa yang datang.
.
.
Jeans biru dongker dan kaos putih serta jaket putih yang melengkapi-nya adalah andalan Anggia ketika ingin berpergian. Ia lalu membuka pintu-nya dan betapa terkejutnya ia melihat Daniel yang bersandar didekat mobil-nya seraya memainkan ponselnya.
Anggia melongo sesaat,
"Lo dibolehin bokap lo bawa mobil?"Daniel yang tersadar akan kehadiran Anggia memasukkan handphone-nya kedalam saku. Dan tersenyum.
"Kita gak janjian se-couple an baju kan?" Tanyanya.Anggia baru sadar akan pakaiannya hari ini yang serasi dengan yang dipakai Daniel. Anggia menggeleng lemah, lagi-lagi ia bingung.
Ada apa dengan hari ini?
"Gak usah bengong gitu, cepettan masuk." Ujar Daniel. Anggia yang tersadar dengan cepat memasuki mobil. Daniel-pun segera masuk ke bagian pengemudi.
Disepanjang perjalanan hanya kesunyian yang menemani. Namun, sesaat Anggia baru ingat akan hal yang ingin ia tanyakan. Karena sedari daritadi ia hanya bengong.
"Daniel, lo seriusan boleh bawa mobil? Kalo ketabrak gimana? Lo kan belom ahli. Terus kalo kena tilang gimana? Lo belom punya SIM!" Ucap Anggia berbelit-belit.
Daniel tertawa, lalu memberhentikan mobil karena ada lampu merah dihadapannya.
"Ngia, tenang aja. Kita bakal lewat jalan pintas, gak bakalan ketawan polisi. Ketabrak? Gue gak sebodoh itu, kok.""Iya, deh."
Lampu lalu lintas berganti menjadi hijau. Mobil kembali dijalankan.
"Lo udah tau soal tuh perkemahan?" Tanya Daniel seraya menyetir.
"Sudah. Kata-nya, kelas 10 sama 11 wajib ikutan. Waktu-nya dua minggu lagi yah? Kok cepet banget."
"Lo males ikut kemah?"
Anggia mendengus lalu menyandarkan punggungnya malas, "Iya. Gue pengennya tidur dikasur, main handphone sampe malem. Kalo kemah banyak kegiatan, gue capek."
"Iya, sih. Tapi-kan itu wajib. Lagipula itu mengukur ke-aktif-an kita dalam kegiatan sekolah."
"Masuk universitas nanti, gak makek ngukur ke aktif-an pramuka, ngapain diadain?"
Daniel tak tau lagi harus berkata apa, lalu ia menjawab.
"Kewajiban atau perintah itu harus kita laksanakan. Walau kita tak menyukai hal tersebut. Lagipula, hal itu harus kita hargai. Kak Petra, sebagai ketua organisasi pramuka sudah mengajukan proposal untuk kegiatan ini. Untuk kebaikan kita semua serta menguntungkan bagi usulan berbagai anggota organisasi-nya."Kita juga harus bisa menghargai usulan atau pendapat orang lain."
Anggia terlihat berpikir,
"Kalo gitu perasaan juga harus dihargai kan?" Ceplos Anggia.Daniel menoleh heran,
"Kayaknya."---Lalu kembali fokus ke jalanan. Serius, ia merasa tersindir akan ucapan Anggia tadi..
.
Mereka sampai disebuah tempat makan dipinggir jalan. Tak lumayan ramai, dan juga pemandangan disana lumayan bagus untuk dilihat. Daniel sering kesini bersama ayahnya, namun tak disangka sekarang ia kesini bersama Anggia.
"Lo baru pertama kali kesini kan?" Tanya Daniel.
"Iya." Jawab Anggia se-adanya sambil melongo kedepan. Pemandangan disini sangat bagus, dan karena hari belum siang-siang bener, anginnya terasa sejuk.
Mereka menaiki lantai dua, Anggia bingung kenapa Daniel tidak mengajaknya dibawah saja. Dan ternyata di lantai dua, ada tempat duduk diluarnya juga. Dan betapa terkejutnya ketika dari lantai itu pemandangan indah yang dilihat Anggia tadi terbentang luas dengan indahnya dari atas sini.
Sudah puas memandanginya, Anggia ikut mengambil duduk.
"Film-nya mulai jam 12.45, karena itu kita makan dulu." Ujar Daniel, Anggia hanya mengangguk. Setelah membaca menu, Daniel memesan es teh dua gelas, es jeruk dan nasi goreng yang paling pedas di restoran itu.
Anggia heran, kenapa ia memilih yang pedas bila tidak tahan sampai memesan banyak minuman. Pola makannya benar-benar aneh. Anggia memesan spaghetti dan minumnya jus jeruk.
Sesudah memesan, Anggia mengambil handphone-nya dan memainkannya. Anggia terkaget melihat layar handphone-nya bahkan hampir menjatuhkannya. Daniel terheran dan bertanya,
"Napa?"
"Astaga! Demi apa Marshel sama kak Rayhan balikan?!!" Tanya-nya sambil berjerit frustasi.
.
.
KAMU SEDANG MEMBACA
Eight✔
Literatura Feminina[Apapun masalahnya, apapun keadaannya, kita akan selalu bersama dan saling mendukung satu sama lain -Eight, 26 Sep 2016-] Sahabat, musuh, perselisihan, masalah, trauma, cemburu, cinta sudah biasa disini. Saling menasihati, memotivasi sesama adalah k...