[28.Unknowing]

20 3 0
                                    

***

Tubuh gadis itu masih bergemetar hebat. Ia duduk disebuah bangku panjang didepan sebuah supermarket. Gadis itu mencoba menghilangkan kejadian beberapa saat lalu dari pikirannya, tapi ia tidak bisa.

Terlalu menyeramkan baginya.

"Lo gak papa?"

Marshel menoleh dan menggeleng pelan. Ia lalu kembali menatap lurus jalanan didepannya.

Rayhan menghembuskan nafasnya pelan dan membuka minuman kaleng yang baru ia beli lagi. Ia menoleh, gadis itu masih bergemetaran seolah-olah masih ketakutan.

Rayhan tegak berdiri dan menghampiri motornya yang tak jauh darinya, membuka jok motor dan mengambil sesuatu. Ia lalu kembali ke bangku tadi dan kembali duduk.

Ia melebarkan jaket hitamnya dan ia gunakan untuk menutupi punggungnya. Awalnya Marshel kaget, tapi sesudahnya ia kembali menatap kosong kedepan.

"Lo tau kan kalo pagi pagi tuh pasti dingin, dan lo pakek baju lengan pendek?" keluh Rayhan panjang lebar bak emak emak.

Namun, hal itu tak dihiraukan oleh Marshel. Ia masih diam. Rayhan mencoba mengerti.

"Tenang aja, bawahan papa gue bakal tuntut tuh orang yang barusan nyulik lo."

Marshel masih diam.

"Dia juga pasti mungkin masuk penjara dalam waktu jangka pendek."

Marshel berdesis pelan, saat tangannya menyentuh ujung pinggiran bangku. Saat ia lihat, ternyata pergelangan tangannya sedikit tergores, pasti karena ia mencoba memotong tali yang mengikatnya tadi dengan pecahan botol gelas.

Rayhan yang melihatnya kembali masuk ke supermarket tadi dan untungnya setidaknya ia mendapatkan beberapa plester dan obat merah, serta kapas.

Ia kembali lagi dan duduk disamping Marshel, ia lalu mengubah posisi duduknya menghadap Marshel dan menarik paksa telapak tangan Marshel.

"Siniin tangan lo."

Marshel hanya merespon diam saja.

Ia menempelkan kapas yang sedikit basah karena ia guyur menggunakan air tadi ke pergelangan tangan Marshel, yang membuatnya sedikit meringis sakit.

"Lo harus tahan, kalo gak dibasuh air nanti dia infeksi."

Marshel sungguh tak mengerti jalan pikir seorang Rayhan Ardi. Setau-nya, baru kemarin ia merasa kecewa saat mengetahui bahwa ia melakukan backstreet dengan Amanda, lalu sekarang ia bersikap lembut bahkan sampai memperhatikan goresan luka di pergelangan tangannya.

Seusai menempelkan plester, Rayhan kaget saat mendapati Marshel yang juga menatapnya. Lumayan lama sampai Marshel bersuara dengan suara seraknya.

"Pipi kakak juga luka."

"Apa?" beberapa detik Rayhan kehilangan ke-fokusannya. Ada apa dengannya? Ia mengerjapkan matanya berkali-kali.

Marshel menyentuh pipi Rayhan dengan telapak tangannya, dan mendapati darahnya yang masih mengalir keluar.

Marshel mengambil kapas dan menekannya di pipi Rayhan, Rayhan mendesis pelan, rasanya sakit.

"Bisa kakak tahan kapasnya?" Rayhan mengangguk dan menahan kapas tersebut di pipinya.

Hingga Marshel menyuruhnya untuk menyingkirkan kapas tesebut. Dan ia ganti dengan kapas yang sudah dituangkan obat merah, dan dilekatkan plester.

"Selesai!"

Marshel tersenyum dan menampilkan senyum sipitnya. Ia lalu merapikan barang-barang, obat, bahkan bekas kapas yang ada disitu.

Rayhan masih melongo diam dan memegangi pipinya. Ia menggelengkan kepalanya dan memperhatikan Marshel yang tengah habis selesai membereskan. Sekarang gadis itu tengah mengeratkan jaket yang dibentangkan oleh Rayhan tadi.

Eight✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang