[15.BeingStars]

25 3 5
                                        

.

.

Chintiya dulu adalah salah korban dari pembully-an dari Anggia. Namun, Chintiya selalu ingin memaafkan wanita itu. Ia mengerti akan satu hal, gadis itu pasti memiliki sebab kenapa ia selalu marah, kesal dan memukuli orang. Hal itu memuat sebuah latar belakang, yang tak pernah orang lain ketahui.

Namun, pemikiran Amanda sebagai korbannya juga berbeda. Sebenarnya, ia hanya ingin mengikuti alur pikiran Anggia, ia ingin memberontak bahwa kehidupannya itu keji baginya. Sama seperti Anggia. Namun, tak sesuai ekspetasinya. Anggia berubah semenjak masuk SMA, yang membuat Amanda geram setengah mati. Ditambah persahabatan mereka berdelapan yang membuatnya iri.

Dan ia mulai memuat rencana untuk menghancurkan mereka semua satu per-satu.

Mungkin ia sudah gagal dengan rencana-nya dengan Rayhan dan masa lalu Anggia. Tapi ia tidak kapok untuk memuat masalah lagi. Yaitu, dengan Satria yang merupakan pria yang disukai oleh Andina.

.

.

Satria menghadapkan pandangannya ke-arah langit gelap itu, ia sedang berada disebuah lapangan berumput. Posisi badannya telentang diatas rumput, menghadap langit luas itu. Mungkin ia bodoh, menghilangkan hobi basketnya ke vokal hanya demi meluruskan kemampuan ayahnya yang merupakan vokalis terkenal di band-nya yang terkenal pula. Namun, ayahnya berhenti melakukan perkerjaannya karena sakit selama bertahun-tahun, dan berpesan agar anaknya bisa meluruskan impian panjangnya itu.

Satria tak mau menghancurkan amanat ayahnya. Namun, walau begitu ia masih suka bermain basket diam-diam dilapangan sendirian dari sore hingga malam, saat pulang ia akan memuat alasan dari rumah teman.

Satria menghembuskan nafasnya pelan dan bangkit dari tidurnya. Ia mengambil tas hitamnya dan menyembunyikan bola basket didekat semak-semak untuk ia mainkan besok lagi. Ia berdiri dan mulai menjalankan kaki-nya.
Namun, tiba-tiba langkahnya terhenti.

"Vella?"

Vella hanya diam dan tersenyum. Ia lalu membalikkan badannya.
"Lo lama banget. Biasa-nya dua puluh menit lalu lo sudah pulang. Jaga-in ayah lo dirumah. Kasian."

Satria menunduk.

"Iya, Vella."

"Lo masih sayang gue kan, Sat?" Tanya Vella tanpa membalikkan badannya.

"Iya, Vella."

"Panggil sayang."

"Sayang."

Vella tersenyum kemenangan ia lalu beranjak pergi dan melambaikan tangannya sesaat,
"Sampai besok."



.

Apa kalian lihat itu? Itu hanya drama dan sebuah permainan. Satria tak pernah sama sekali mendapatkan cinta sejati-nya. Karena itu, ia bahkan kadang mementingkan hobi basket lamanya daripada tujuan sebenarnya atas menjadi vokalis.

Karena tak ada yang menyadarkannya.

Semuanya hanya drama dan kebohongan, tak ada kebenaran. Satria hanya mainan bagi Vella, menuruti apa keinginannya. Kenapa? Karena Satria berhutang kepada Vella atas keselamatan ayahnya. Bisa saja ayahnya mati waktu itu, jika bukan keluarga Vella yang menolong.

Dan Vella menagih hutang itu, dengan mempercayakan orang lain bahwa mereka sama-sama suka. Karena Vella menginginkan kepopulerannya meningkat disekolah. Ia harus terkenal tajir, pintar, supel, banyak teman, cantik, dan memiliki calon pacar yang memiliki multitalenta disekolah.

Vella itu egois. Dan otomatis, Satria tentu-saja tidak suka. Ia menyukai kesederhanaan.

Ujung pandangannya menangkap semua bintang yang bertaburan. Hatinya tak sudah-sudah berharap, bahwa semua ini pasti akan berakhir.

.

.

Marshel dan ibu-nya memasuki rumah Tante Rara. Marshel sekarang mengerti kenapa adiknya mengatakan rumah ini 'sok mewah' karena rumah ini memang mewah. Barang-barang antik, emas, nuansa elegan, memenuhi rumah yang mencakup lumayan besar ini. Bahkan, Marshel sampai terkagum-kagum. Mereka lalu dipersilahkan duduk. Ibu memang sering mengantarkan makanan lebih ke Tante Rara walaupun tante Rara terlihat seperti orang lebih dari cukup. Bisa membeli makanan semahal apapun.

Namun, ibu cukup bertoleransi, ia tak mementingkan derajatnya, ia masih ingin memberi sesuatu kepada orang lain. Bahkan tante Rara yang merupakan sahabat ibu-nya.

Tante Rara lalu datang dengan senyum gemilang diwajahnya,
"Aduh, Sella, kau ini dari dulu memang suka memberiku makanan enak buatanmu. Kadang, aku iri bakat memasakmu melebihi--" Tante Rara mengecilkan suaranya. "Melebihi koki rumahku yang gelarnya tinggi."

Ibu hanya terkekeh pelan mendengarnya.

"Hai, Marshel. Sepertinya ini kesan pertama-mu kerumah tante. Makasih udah mau dateng." Puji Tante Rara.

"Iya tante." Jawab Marshel.

"Ohya, mana Rayhan?" Tanya Sella, ibu Marshel.


DEGHHHH

Marshel tak salah dengar kan? Marshel bingung sendiri. Ia berusaha berpikir positif itu bukan Rayhan yang dimaksud. Bukan mantan pacarnya. Bukan!

"Ma, Rayhan izin mo ke rumah temen bentar."


DEGHHH

Jangan.

"Rayhan? Sebelum pergi ayo salim dulu sama tante Sella. Hari ini dia bawa putrinya loh." Jelas tante Rara kepada Rayhan yang baru saja memasang helmnya didepan pintu.

Rayhan terpaksa melepaskan helm-nya lagi dan menghampiri mereka.

Rayhan mencium punggung tangan Sella dan tersenyum.
"Tante dateng lagi? Nggak ngerepotin?" Tanya Rayhan sopan.

"Nggak papa. Tante mah biasa."

"Ohya, kenalin, ini anak kedua tante. Marshelita Angelina. Kalian kan satu sekolah, kok kayak gak ngenali gitu?" Tanya Sella heran. Rayhan melirik perempuan disamping Sella.

Rautnya bingung sesaat. Marshel hanya menunduk. Tiba-tiba Rayhan tersenyum.

"Hai, Marshel. Sepertinya kita jarang bertemu disekolah."

Sella dan Rara adalah sahabat. Tapi sesama ibu, mereka tak tahu apapun tentang hubungan mereka sebelum ini. Bahkan Rayhan hanya diam-diam mengantar Marshel pulang dari sekolah waktu pacaran dulu. Dan Marshel tau kenapa dia tak mau terang-terangan dan menutupinya dari kedua orang tua mereka yang tengah bersahabat, karena yang mereka tahu, Rayhan pacar Amanda, bukan Marshel.

Itu menyakitkan.

Marshel mendongakkan kepalanya, membalas senyumnya, menampilkan lesung pipitnya.
"Haha, santai aja, kak. Aku juga jarang keluar kelas."

Setelahnya Rayhan pamit lagi untuk pergi. Dan Marshel merasakan api dan air dihatinya.

Api, membara menyimpan kekesalan akan segala kebohongan, raut khawatir palsu, memanfaatkannya seenaknya.
Air, merendam semua amarahnya. Ia terlanjur sayang dan mengharap sedikit walau sakit. Dia penyabar dan menunggu, bahwa kebahagiaan akan melebihi semuanya suatu saat nanti.

Itulah Marshel.

Memikirkan segala-nya diluar batas tanpa diduga. Sudah disakiti-pun, ia masih bisa berharap. Masih sayang. Dibahagiakan-pun, ia masih tersakiti karena bahagia yang diberikan kepadanya tidak tulus alias kebohongan.

Sama seperti Rayhan, yang membahagiakannya lalu menjatuhkannya.

.

.

Andina berjalan menuju jendela kamarnya, matanya sama sekali belum mengantuk, padahal jam sudah lebih dari tengah malam. Matanya meneteskan air mata.

"Gue bodoh. Dan kenapa tuhan ngasih perasaan kek gini, kalo gue ujungnya cuma dapet sakit. Gue harus tahan sampe kapan?"

Ia menyekanya pelan. Dan menatap langit hitam itu, dengan cahaya bulan. Bintang mungkin sudah pergi dari malam itu. Hanya bulan sendirian yang menyinari malam. Mungkin, bintang lelah. Mungkin, bintang cahayanya akan memudar jika terlalu lama menemani bulan.

"Kalo gitu gue mau jadi bintang aja. Gue lelah."

.

.

Eight✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang