[36.Change]

18 1 0
                                    

***

Koper dan tas-tas itu bertumpuk. Keramaian di sebuah lapangan besar seketika membuat kesan hidup bersosialita. Canda tawa, suara yang bersahut-sahutan, dan perkumpulan sana-sini.

Seorang gadis tengah jengah dengan menatap layar ponselnya. Ia mengerucut-kan bibir-nya beberapa senti. Ia kesal. Sesekali ia menghentakkan kaki-nya ke tanah dibawah-nya.

"Lo napa, din?" tanya Nabila yang melihat salah sahabatnya sebal sendiri dengan layar bercahaya persegi dihadapannya.

"Gak tau tuh. Dari malem-malem kemaren gue nelpon, dia gak ngangkat-ngangkat. Eh..pas kemaren siang dia ngirim pesan, buat nungguin dia pas kalo sebelum naik bis. Sesudahnya, gue telpon lagi gak diangkat. Kan sebel. Mana, ini bentar lagi kita mau berangkat juga. Dasar cowok!" cerocos Andina panjang lebar.

"Mungkin, dia lagi sibuk." celetuk Nabila.

Nabila celingak-celinguk dan tersenyum lebar saat mendapati rombongannya akan menghampiri.

"Kita berdelapan satu bis?" tanya Andina.

"Gak lah. Bis ada empat. Kita bagi dua-dua. Lagipula, harus sesuai nomor kartu." ucap Nabila sembari menunjuk kartu yang ia pegang.

"Hello gaess!!" antusias Nina.

"Paan sih? Berisik." celetuk Anggia yang membuka salah headset-nya.

"Diem ae yang waktu itu dipeluk doi." balas Nina.

"Heh, lo yang diem. Ibu dari masa depan anak-anak John cina satang." balas Anggia.

"Heh! Heh! Sudah!" lerai Chintiya.

"Kekanakan banget." komentar Marshel dengan menekankan kata 'kekanakan'.

"Diem ae lo, orgil." balas Nina dan Anggia bersamaan.

Alih-alih mereka ingin saling menjambak, Chintiya memisahkan mereka dengan tangannya dan menatap tajam mereka satu-satu. Diantara mereka, mungkin Chintiya-lah yang paling bersifat dewasa.

"Bisa..diem gak?" ucap Chintiya dengan tampang menakutkan-nya.

Mereka bertiga hanya mengangguk pelan, merasa ciut serta takut.



"Maaf, gue telat ya?"

Pria berlesung pipit itu tertawa sumringah, memegangi lututnya, serta nafasnya yang memburu. Wajahnya menampilkan raut kusut walau ia tersenyum lebar. Rambut-nya acak-acakan. Dan seragamnya terlihat kusut, karena tidak disetrika. Lebih tepatnya seperti gembel.

"Lo kenapa?!" pekik Andina.

Satria yang melihatnya panik, langsung memudarkan senyumnya. Ia tak peduli lagi, ia merasa dunia tak adil baginya. Satria menghambur-kan dirinya ke dekapan Andina, menangis terisak tanpa henti. Andina kebingungan, bahkan sahabat-sahabat disekitarnya menampilkan raut yang sama dengannya.

"Satria..lo..lo kenapa?" tanya Andina lembut, namun gagap. Tentu saja dia kaget tiba-tiba dipeluk seperti ini.

"Bokap gue ninggal, dina.. hiks.."

Chintiya spontan membengkap mulut-nya.

"Gu..gue..bahkan sempet berpikir..gue..ga..gak..mau.. dateng. Ta..hiks..tapi dirumah cuma buat..gue..inget..bo.. bokap lagi. Gu..gue--"

Andina spontan melepaskannya dari dekapannya. Memegangi kedua bahunya yang bergetar,
"Bukankah lo pernah bilang ke gue? Gue kira tuhan menakdirkan gue buat hidup susah selamanya. Ternyata nggak. Itu cuma cobaan belaka sebelum gue nemuin kebahagiaan?"

Eight✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang